Agar CEO “Sekampiun” Tony Fernandes dalam Mengelola Krisis

Krisis memang tak pernah dapat dihindari oleh perusahaan. Sekecil atau sebesar apapun skala bisnis perusahaan, akan berpeluang menghadapi krisis. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan—terutama CEO, Board of Director (BOD), dan tim Public Relations (PR)—memahami dan mengenali gejala dari sebuah krisis.

ceo

Menurut Dosen Komunikasi Universitas Indonesia dan LSPR Bambang Sumaryanto, langkah mengenali ciri-ciri krisis menjadi sangat diperlukan agar tim manajemen atau BOD memiliki pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang berpotensi menuju krisis atau tidak.

Krisis biasanya ditandai dengan berbagai gejala. Pertama, situasi yang mulai tak terkendali. Kedua, beberapa pihak, khususnya pihak berwenang, mulai turut campur tangan. Ketiga, mulai atau berpotensi mempengaruhi penjualan atau profitabilitas. Keempat, mempengaruhi reputasi perusahaan dan perusahaan tak bisa mengantisipasi perkembangannya.

Untuk AirAsia, Bambang mencontohkan, krisis ditandai dengan kesulitan memperkirakan berapa lama proses pencarian korban akan dilakukan, temuan apa yang akan berpengaruh terhadap perkembangan situasi, sikap dan penilaian masyarakat di masa yang akan datang, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, PR dianggap pihak yang paling mengetahui bagaimana publik eksternal mempersepsikan perilaku dan tindakan manajemen.

Oleh karena itu, ditegaskan Bambang, peran PR adalah melakukan edukasi (counsel) kepada Tim Manajemen, khususnya CEO, tentang pentingnya komunikasi kepada publik, baik tentang apa (what) maupun bagaimana (how) menyampaikan pesan dalam konteks mengelola krisis. Lantaran, tak semua CEO sekampiun Tony Fernandes dalam menghadapi sekaligus mengelola krisis.

Peran Strategis PR dalam Mempersiapkan CEO sebagai Spoke Person
Itu sebabnya, semua unsur pimpinan perlu diikutkan dalam media training atau pelatihan yang digelar perusahaan. Objektifnya, agar mereka dapat memahami perilaku media di negara yang bersangkutan.

Contohnya di Indonesia, diungkapkan Bambang, memiliki perbedaan gaya wawancara antara media TV, media cetak, dan media online. Melalui pemahaman karakter media, selanjutnya tim PR dapat memutuskan unsur pimpinan mana yang berpotensi menjadi spoke person.”Dan, melalui simulasi krisis (crisis drill), tim PR akan bisa menilai kesiapan CEO dalam menghadapi media, khususnya dalam melakukan wawancara live,” lanjutnya.

Di sanalah peran strategis PR diuji. Termasuk, dalam proses perencanaan program komunikasi untuk penanganan krisis. Ya, Tim PR memiliki kemampuan untuk menyiapkan berbagai scenario, termasuk FAQ (Frequent Asked Questions) untuk digunakan oleh CEO atau spokeperson lainnya dalam menghadapi publik/media. “PR harus mampu mempersiapkan para spoke person untuk percaya diri untuk tampil dan menjawab berbagai pertanyaan, karena telah disiapkan berbagai jawabannya,” tambahnya.

Hanya saja, tantangan utamanya adalah CEO cenderung menjelaskan apa yang diketahuinya dengan harapan publik lebih memahami situasinya. Padahal, menurut Bambang, boleh jadi penjelasan tersebut bisa saja memancing pertanyaan lain di luar konteks krisis. “Oleh karena itu, salah satu hal penting yang diingatkan kepada seorang juru bicara adalah tugas utama mereka adalah menyampaikan pesan utama (key messages), bukan menjawab pertanyaan saja,” Bambang menegaskan.

Oleh karena itu, untuk mencegah melebarnya jawaban CEO, sebaiknya tim PR selalu mendampingi CEO dan siap sedia melakukan intervensi secara halus, agar topik kembali ke pesan-pesan utama saja. Bambang beralasan, “Sebab, semakin luas penjelasan, maka akan semakin tak terkendali berita yang akan disampaikan. Dengan demikian, akan semakin sulit bagi perusahaan untuk melokalisir berita. Padahal, salah satu hal penting dalam penanganan krisis adalah lokalisasi issue bilamana PR tak mampu mengalihkan issue-nya.”

Pendeknya, koordinasi dan kesamaan pendapat dalam Tim Manajemen adalah sangat penting dan peran CEO sangatlah besar. Maklum saja, salah satu perbedaan yang sering muncul adalah perbedaan pandangan antara tim legal dengan tim humas. “Seringkali pihak legal akan menyarankan perusahaan untuk menegaskan hal itu adalah tanggung jawab pihak ketiga, yang bisa jadi benar. Namun, justru langkah itu mengesankan perusahaan melempar tanggung jawab kepada pihak ketiga,” ungkap Bambang.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)