Seiring dengan semakin kritisnya konsumen saat ini, industri food and beverage perlu untuk semakin berupaya meningkatkan dan mempertahankan reputasi brand serta menjaga hubungan baik dengan media. Bagaimana tidak, ketika ada hal yang tidak beres dengan perusahaan atau produknya, masyarakat langsung menuntut tanggung jawab para stakeholder brand.
Banyak perusahaan F&B yang terpaksa harus menutup usahanya sebagai dampak dari gagalnya mereka mengatasi krisis. Tentunya, setiap perusahaan ingin agar usahanya tidak mengalami hal serupa. Itulah sebabnya, ketika mengalami krisis perusahaan harus mampu menekankan aspek komunikasi sembari melakukan manajemen krisis. Bagaimana sebuah perusahaan mengkomunikasikan rencana recovery inilah yang membuat adanya perbedaan yang mencolok antara brand yang survive dengan brand yang tidak pernah benar-benar pulih pasca-krisis. Dengan demikian, bukan hal yang berlebihan bila mengatakan bahwa perusahaan F&B harus memiliki sebuah rencana krisis yang teruji serta selalu siap digunakan kapanpun krisis terjadi. Berikut ini alasan-alasan yang memperkuat:
1. Krisis dapat merusak citra baik perusahaan
Dengan adanya rencana penanggulangan krisis yang mumpuni, perusahaan dapat menaklukan krisis lebih cepat sehingga dampak finansial yang harus ditanggungnya pun menjadi lebih kecil. Seperti yang telah banyak diketahui oleh khalayak umum, krisis dapat memukul keadaan ekonomi perusahaan. Misalnya saja ketika brand jus apel bernama Odwalla mengalami krisis, harga saham perlembarnya turun tajam dari $19 menjadi $9. Bisa dibayangkan, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan brand untuk pemulihan pasca-krisis apabila isunya tidak ditanggulangi dengan baik.
2. Sosial media membuat krisis tetap hidup
Sosial media merepresentasikan tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan ketika mereka berusaha menyelesaikan krisis. Menurut survey global yang dilakukan oleh Freshfields Bruckhaus Deringer , sebesar 28 persen krisis dilaporkan menyebar secara global hanya dalam waktu satu jam. Enam puluh sembilan persen krisis dilaporkan menyebar secara global hanya dalam kurun waktu 24 jam. Temuan lainnya adalah dibutuhkan rata-rata waktu 21 jam sebelum perusahaan mampu melakukan komunikasi yang berarti dengan pihak eksternal untuk menangani isu ini.
3. Krisis juga mempengaruhi brand equity
Pernyataan bahwa "persepsi adalah kenyataan" terasa sangat benar ketika krisis terjadi. Sayangnya, banyak stakeholder lebih percaya dengan apa yang mereka lihat dan baca di sosial media dibandingkan pernyataan resmi perusahaan. Menurut FBD, perusahaan-perusahaan yang gagal mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis secara efektif membuat mereka mengalami apa yang disebut dengan "trial by Twitter".
Hal ini sesuai dengan pernyataan Warren Buffet, yakni butuh waktu 20 tahun untuk membangun reputasi dan hanya butuh lima menit untuk merusaknya.
4. Mustahil untuk mempersiapkan diri dan mengelola krisis secara bersamaan
Banyak perusahaan yang baru mempersiapkan diri menghadapi krisis ketika mereka benar-benar mengalami hal tersebut. Ada banyak bagian yang harus dilakukan di dalam rencana krisis, mulai dari mengkomunikasikan perkembangan, coaching untuk juru bicara, notifikasi regulasi, recall produk, investigasi internal, konferensi pers, komunikasi stakeholder, memonitor media, mengelola sosial media, dan lain sebagainya. Semua kegiatan tersebut tentunya tidak mungkin diselesaikan dalam satu waktu.
Itulah sebabnya, mengembangkan sebuah perangkat komperhensif serta menguji rencana penanggulangan krisis sebelum digunakan adalah prediktor terbaik dalam menentukan kesuksesan perusahaan dalam mengatasi krisis.
Tengok saja kesuksesan National Beef Broad ketika krisis "sapi gila" menghantui warga Amerika pada thaun 2003 silam. Mereka saat itu sudah siap dengan rencana krisis sejak jauh-jauh hari. Sehingga hanya dalam waktu 2 tahun sejak krisis mereka mampu meningkatkan pengeluaran perkapita untuk komoditas daging sapi.
5.Bagaimana perusahaan meng-handle krisis lebih besar dibandingkan krisisnya tersendiri
Jika Anda bertanya-tanya mengenai seberapa pentingkah suatu krisis untuk diatasi, tengoklah kasus tumpahan minyak yang dialami BP. Tumpahan minyak membuat krisis lingkungan melebar menjadi krisis kepemimpinan serta krisis manajemen, lengkap pula dengan kesalahaan penunjukkan juru bicara dan pesan-pesan gagal. Perusahaan tersebut masih berusaha untuk pulih dari kerugian finansial mereka yang mencapai $ 43 milyar, padahal kerusakan pada brand equity mereka pun sudah tidak terhingga.