Bagaimana Seharusnya Garuda Menghadapi Krisis Komunikasi dan "Sindiran" AirAsia?

Era digital telah menuntut perusahaan maupun praktisi Public Relations (PR) atau komunikasi untuk senantiasa waspada. Maklum saja, melalui akun media sosial, konsumen maupun pelanggan dengan bebasnya mengkritik sekaligus men-share produk atau layanan yang dinilai mereka kurang baik. Lebih berbahaya, jika yang mengkritik adalah influencer dengan banyak follower, yang berpotensi menjadi viral.

Hal itulah yang kini tengah dihadapi brand maskapai ternama, Garuda Indonesia. Baru-baru ini, postingan Youtuber Rius Vernandes melalui akun instagram @rius.vernandes terkait menu makanan Garuda Indonesia yang hanya ditulis tangan, berujung pada tercorengnya reputasi Garuda. Mengingat, Garuda adalah full service airlines dan Rius memilih tiket bisnis untuk perjalanan Sidney-Jakarta bersama sang istri. Buntutnya, postingan Rius pun viral di dunia maya.

Postingan Rius justru ditanggapi oleh Serikat Karyawan Garuda dengan melaporkan Rius dan rekannya yang juga Youtuber, Elwiyana Monica, pada 13 Juli 2019 lalu, atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial. Meski, akhirnya manajemen Garuda mengambil langkah cepat dengan menutup kasus tersebut dengan jalan damai pada hari ini (19/7).

Belum selesai dengan krisis akibat postingan Rius, Garuda menghadapi krisis kembali dengan beredarnya surat larangan pengambilan gambar atau foto di dalam pesawat yang akhirnya viral di media sosial. VP Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan pun melakukan klarifikasi bahwa pengumuman tersebut merupakan edaran internal perusahaan yang belum final yang seharusnya belum dikeluarkan dan tidak untuk publik.

Diungkapkan Ikhsan kepada media, Garuda Indonesia telah menyempurnakan surat edaran dimaksud yang berisi aturan membolehkan berfoto bagi penumpang, namun tetap menghormati privasi penumpang lain dan awak pesawat yang sedang bertugas.

Menurut Bambang Sumaryanto, Konsultan PR yang juga Dosen Komunikasi di PGP LSPR dan Pengajar di Universitas Indonesia, mutlak bagi sebuah perusahaan, termasuk Garuda, untuk selalu siap menghadapi berbagai isu yang menerpa. Kegagalan dalam menangani isu justru akan menguras perhatian. Bahkan, mampu menghancurkan reputasinya, bila isu tersebut berubah menjadi krisis.

"Sejak awal melihat postingan menu dengan tulisan tangan, pasti timbul kesan betapa kurang profesionalnya manajemen Garuda, hingga menu saja ditulis tangan. Padahal, untuk melakukan pencetakan di business center hotel atau bandara akan sangat mudah. Ada proses yang dilewati dan tak masuk standard SOP (Kalau ada SOP-nya), sehingga penumpang disodori menu tulisan tangan," urainya.

Fakta itu, dinilai Bambang, sudah cukup bagi Garuda untuk minta maaf dan memberikan apresiasi kepada Rius yang telah membuat manajemen Garuda tahu apa yang terjadi. Ia mencontohkan, "Misalnya, Manajemen Garuda dapat mengatakan bahwa hal itu memang bukan standard pelayanan Garuda dan Garuda akan menindak tegas karyawannya yang menjalankan tugas tak sesuai standard. Garuda juga memastikan hal itu tak akan terjadi lagi di masa mendatang serta menjadi masukan untuk evaluasi layanan pelanggan Garuda."

Soal larangan foto di dalam kabin, Bambang justru menganggap, sebagai langkah yang konyol, karena justru era digital membuat orang marak berfoto bersama atau membuat cerita-cerita menarik sepanjang perjalanan. "Biasanya, larangan foto adalah di tempat yang memang sensitif atau confidential. Tampaknya, larangan itu muncul tanpa pemikiran yang matang, sehingga segera dicabut dengan alasan yang dibuat seolah-olah masuk akal. Ini menunjukkan, bahwa manajemen krisis tidak jalan," nilai Bambang.

Hal ini diperburuk dengan adanya thread KASKUS yang memojokkan Rius sebagai penghianat, karena menjelekkan armadanya sendiri dan bahkan menuduh demi kepentingan airlines asing, yang belakangan telah diklarifikasi oleh Rius sendiri. Thread ini justru mengobarkan nasionalisme yang terkesan membabi buta.

"Semuanya diawali dengan manajemen Garuda yang tak menganggap penting postingan Rius, sehingga serikat pekerja bertindak di luar kontrol manajemen. Kita tidak pernah tahu, apakah memang serikat pekerja Garuda bertindak sendiri karena sudah tak percaya manajemen baru atau manajemen yang tak menyadari pentingnya isu itu ditangani. Hal itu justru menunjukkan, bagaimana Garuda sulit mengatur komunikasi 'satu pintu' untuk masalah yang sama," ia menyayangkan.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)