Pada akhir Juni 2006, Cadbury Schweppes, perusahaan produsen cokelat terbesar di dunia, harus menarik beberapa produknya di UK karena kasus kontaminasi bakteri Salmonelle Montevideo. Bakteri ini disebut-sebut dapat mengakibatkan keracunan makanan dan berdampak pada penyakit muntaber yang serius. Kontamintasi pada produk Cadbury sebenarnya sudah diduga sejak Januari 2006 namun perusahaan ini sama sekali tidak memberikan konfirmasi kepada pihak kesehatan yang berwenang UK, yaitu Food Standards Agency (FSA).
Strategi yang ditempuh Cadbury ini jelas sekali berbanding terbalik dengan seperti yang seharusnya dilakukan dalam praktik PR, yaitu terbuka, transparan, dan responsif.
Melalui media, FSA mengecam keras kelalaian perusahaan Cadbury. Saat itu, barulah perusahaan ini angkat bicara dan memutuskan untuk menarik sebanyak satu juta produknya yang diduga kuat terkontaminasi bakteri.
Akhirnya, pada Agustus 2006, Todd Stitzer CEO Cadbury Schweppes mengakui kelalaian yang dilakukan oleh perusahaannya bahwa terjadi kebocoran pipa sehingga mengakibatkan kontaminasi. Stitzer juga meminta maaf kepada stakeholders terkait dan menekankan akan meningkatkan kualitas proses produksi. Sebagai hukumannya, Cadbury mendapat sanksi berupa denda lebih dari £ 1 juta.
Menariknya, Cadbury berhasil melalui krisis ini. Seiring berjalannya waktu, konsumen pun lupa terhadap kasus yang menimpa Cadbury. Ya, Cadbury memang diuntungkan oleh consumer habits yang mudah lupa atas kelalaian yang dilakukan perusahaan. Terbukti pada Februari 2007, laporan Cadbury menunjukan bahwa penjualan produknya kembali normal seperti sebelum krisis terjadi. Bahkan para retailers pun Padahal di akhir tahun 2006, penjualan produk Cadbury sempat mengalami penurunan hingga 2.5%.
Dilansir dari jurnal bertajuk 'Defying a Reputational Crisis – Cadbury's Salmonella Scare: Why are Customers Willing to Forgive and Forget?', salah satu faktor yang membantu brand ini bisa melalui krisis adalah reputasi positifnya sebagai brand yang banyak melakukan kegiatan sosial. Salah satunya adalah Bournville Project dimana karyawan pabrik Cadbury dibangunkan rumah yang lokasinya dekat dengan pabrik.
Faktor lain adalah Cadbury bisa dibilang beruntung karena industri cokelat tidak banyak melibatkan banyak stakeholders sehingga tidak banyak yang memantau ataupun menganalisis dan memblowup berita.
Strategi penanganan krisis Cadbury ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pakar menilai lambatnya penanganan dan kurang transparan sebagai hal yang tidak patut untuk dilakukan dalam praktik PR. Sebagian lagi menilai bahwa strategi ini sebenarnya bertujuan untuk meminimalisir dampak buruk lain.
Kendati demikian, langkah Cadbury yang akhirnya mengakui kesalahan, meminta maaf dan memberikan penekanan untuk meningkatkan kualitas produksi pun dinilai tepat, sebagai langkah untuk meminimalisir potensi buruk lain seperti diekspos lebih banyak oleh media. Meskipun konsekuensi lain yang harus dipikul adalah membayar denda yang jumlahnya tidak sedikit.