Ketika Media Abaikan Prinsip RESPECT pada Pemberitaan AirAsia

Setelah sebelumnya TV One menuai kritik tajam soal Quick Count di masa Pemilihan Presiden, hingga berujung pada turunnya tingkat kepercayaan publik, hari ini (30/12) TV One kembali menuai protes keras di social media. Kali ini, TV One diprotes soal penayangan gambar serpihan pesawat AirAsia QZ8501 dan sejumlah jasad penumpang. Pada tayangan tersebut, TV One menggambarkan jasad penumpang secara utuh (tanpa di-blur).

Media-Logo

Alhasil, tayangan TV One tersebut juga menuai protes dari keluarga korban maupun pihak AirAsia. Kemarahan keluarga korban dan AirAsia cukup dimaklumi, lantaran tak sedikit keluarga korban terpukul atas tayangan tersebut. Keluarga korban yang tengah menyaksikan di ruang Crisis Center, bandara Juanda, Surabaya, berteriak histeris. Bahkan, satu anggota keluarga sempat pingsan.

Tak hanya keluarga korban dan pihak AirAsia yang kecewa, netizen di Tanah Air juga turut mengungkapkan kekesalan mereka kepada TV One lewat social media. Seorang netizen dengan akun @aMrazing berkicau, “And TV One is doing what they do the best: being TV One. Nggak kenal etika dan nggak peduli perasaan semua orang”.

Netizen lainnya dengan akun @ToniWaterman juga turut mengicaukan kekesalannya. “TV One now blurring floating body. It’s not working. You’d think they’d be more sensitive since most victims are Indoensian,” kicau Toni.

Ernest Prakasa, salah satu komedian Tanah Air, juga ikut berkicau. “Semoga orang2 berhati nurani yg terpaksa kerja di TV One dilapangkan jalannya agar bisa dapet kerja di tempat lain, Amin,” demikian kicauan kekesalan Ernest lewat akun @ernestprakasa.

Tentu saja, kasus yang dihadapi TV One kali ini makin menggerus tingkat kepercayaan audience terhadap TV One sebagai media terpercaya yang beretika. Meskipun kemudian, akhirnya presenter TV One meminta maaf. Selanjutnya, gambar evakuasi jasad penumpang pun ditayangkan secara blur oleh TV One.

Crisis Communication yang dihadapi media, menurut Troy Pantouw, pengamat media dan komunikasi yang juga Wakil Ketua Umum BPP Perhumas periode 2011-2014, seharusnya tidak perlu terjadi bilamana jurnalis mampu memahami prinsip RESPECT (Respect-Empathy-Sharing-Protection-Emotion Control-Content-Tight up with Resources).

Pada prinsip RESPECT yang sudah dikemukakan sebelumnya oleh Troy kepada MIX online (lihat judul berita “Perlunya Crisis Communication Coaching untuk Jurnalis"), jurnalis perlu mengedepankan prinsip yang pertama, Respect. “Respect to human right adalah yang utama. Untuk itu, jurnalis harus juga menempatkan diri bilamana musibah itu menimpa diri mereka. Jadi, hal ini bukan tentang kepuasan menceritakan keberhasilan atau prestasi diri sendiri dalam memberikan berita gambar dan cerita. Akan tetapi, secara ‘manusiawi’ menyampaikan situasi terkini dengan memperhatikan unsur kemanusiaan,” tegasnya.

Oleh karena itu, ditambahkan Troy, dalam tayangan langsung, media harus mampu memperhatikan efek trauma yang bisa saja terjadi, baik kepada keluarga korban, korban yang selamat, anak-anak di bawah umur, serta psikologis publik lainnya. “Bila pada akhirnya gambar dan berita menimbulkan trauma singkat atau berkepanjangan, maka media harus bertanggungjawab secara moral. Bahkan, kalau perlu material atas efek tersebut,” tandas Troy.

Dalam kasus AirAsia, sejatinya media harus mampu menghindar menjadi orang yang semata meneruskan berita kematian seseorang atau keluarga. “Biarlah otoritas yang tepat yang melakukannya. Para kerabat dan sanak saudara mempunyai hak untuk menerima berita tersebut secara pribadi. Kalaupun petugas jurnalis di lapangan diminta informasi tambahan yang mungkin otoritas belum dimiliki secara utuh, maka pertimbangkan dengan bijaksana dan hati-hati respon investagi demi kepentingan update berita tersebut,” sarannya.

Troy pun mengingatkan bahwa ungkapan simpatik, kata-kata dengan dorongan positif, perbuatan baik yang sudah dan sedang terjadi, serta laporan tentang kemajuan yang mengandung harapan baik di balik peristiwa yang menyedihkan AirAsia juga harus disediakan oleh media dengan ruang pemberitaan yang cukup dan disampaikan dengan baik oleh jurnalis yang bertugas.

Untuk itu, sangat penting bagi para redaktur dan manajer pemberitaan memahami prinsip RESPECT dalam menayangkan pemberitaan seperti kasus AirAsia, yang dapat berujung pada persepsi publik. “Laporan cepat dan terkini melalui siaran langsung memang menjadi andalan media. Namun, dalam konteks atau prinsip Emotional Control, pemberitaan dapat mengakibatkan tekanan pribadi secara psikologis bagi perseorangan maupun massa. Itu sebabnya, luangkan waktu dengan tim inti redaksi untuk menentukan baik-buruk efek pemberitaan, termasuk pemutaran berulang gambar dan foto terkait musibah,” ia menganjurkan.

Troy pun menyayangkan ketika ada anggota keluarga yang shock dan tidak sadarkan diri untuk kemudian dibawa ke ruang perawatan, media justru berebut merekam kejadian tersebut untuk dijadikan bahan pemberitaan. “Hal itu seharusnya dihindari oleh rekan-rekan jurnalis, karena sangat tidak membuat nyaman bagi orang tersebut. Bahkan, secara psikis dan fisik justru tidak membantu pemulihan shock,” tutup Troy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)