Media sosial telah mengubah public relations. Secara tradisional, public relations berhubungan dengan "media yang bisa dikontrol" dan "media yang tidak bisa terkontrol." Media yang bisa dikontrol adalah alat yang digunakan perusahaan atau organisasi untuk menyampaikan informasi seperti laporan tahunan, film tentang perusahaan, atau event. Media yang tidak bisa dikontrol seperti talk show atau cerita yang ditulis untuk wartawan.
Dengan media sosial - media yang tidak bisa dikontrol – informasi yang keluar ke pubkik seringkali tidak terkendali. Ini karena dengan media sosial, siapa pun bisa berkomentar dan tidak jarang yang negatif ketika membicarakan sebuah perusahaan. Sebuah pesawat tertunda pemberangkatannya misalnya, orang-orang menggunakan Twitter untuk mengungkapkan keluhannya.
Melalui kamera perekam video yang tersedia di ponsel, orang bisa membuat cerita film dan menjadikan YouTube sebagai sarang ketidakpuasan. Ada karyawan restoran makanan cepat saji terkenal yang mengeluhkan pekerjaan mereka melalui video dengan mempertontonkan mereka sedang mandi di tempat cuci di tempat mereka bekerja atau bermain dengan makanan dengan cara yang menjijikkan sebelum menayangkannya kepada pelanggan.
Penelitian yang dilakukan Sprout Social mengungkapkan bahwa banyak pengguna internet AS percaya bahwa media sosial telah memberi mereka lebih banyak ruang untuk mengungkapkan perlakuan tidak adil oleh perusahaan atau merek dan mereka bisa menjadi lebih kritis. Survei yang dilakukan pada 1.003 pengguna internet AS berusia 18 hingga 64 pada Juli 2017 itu menemukan bahwa delapan dari 10 responden mengatakan bahwa media sosial membantu mengungkap contoh merek yang memperlakukan orang secara tidak adil. Dan tujuh dari 10 mengatakan bahwa hal itu membantu mendorong transparansi.
Ketidakjujuran yang ditunjukkan oleh merek dan layanan pelanggan yang buruk membuat pengguna internet mengeluhkannya di media sosial. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Produk yang buruk, merek yang terlalu politis dan kurangnya daya tanggap pengelola merek juga membuat orang frustrasi dan membicarakan perusahaan di media sosial.
Saat ini perusahaan telah belajar bagaimana mengelola ketidakpuasan konsumen (dan karyawan) dan menggunakan ruang digital untuk keuntungan mereka. Semakin banyak, perusahaan berpartisipasi dan mendengarkan suara pelanggannya secara real-time untuk mempelajari apa yang terjadi dan dikatakan orang tentang mereka secara online. Mereka menanggapi komentar positif, tapi juga memasukkan diri mereka ke dalam percakapan negatif untuk mengelola komunikasi dan reputasinya.
Banyak merek seperti Gatorade, JetBlue, Nike dan Purina telah melakukannya interaksinya dengan pelanggannya secara sangat baik. Awalnya, media sosial adalah untuk interaksi sosial, bukan untuk jualan. Namun gagasan bahwa media sosial adalah untuk mengembangkan hubungan dengan konsumen individual kini makin tak bisa dihindarkan. Hubungan pada dasarnya berakar pada PR. Jadi, pemasaran massal atau pemasaran khusus yang selama banyak menjadi acuan, kini bergeser menuju interaksi one-on-one yang lebih banyak dan lebih banyak lagi dengan konsumen. Inilah sebabnya mengapa banyak orang percaya bahwa PR bakal mengalahkan iklan sebagai alat promosi yang lebih menonjol.
Online yang dikenal ada yang berbayar, dimiliki, dan diterima. Media berbayar adalah iklan; media yang dimiliki adalah situs web perusahaan, blog, dan halaman media sosial; dan media yang diterima adalah publisitas yang telah diperoleh secara gratis. Perusahaan berusaha untuk meningkatkan media yang diterima untuk mendukung media yang dimiliki sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk media berbayar.
Einstein, Mara. 2017. Advertising : what everyone needs to know. New York: Oxford University Press