Sebagaimana sejarah yang sering berulang, bencana seperti badai Irene dan kemudian baru-baru ini, badai Super Sandy juga seakan berulang. Semua perencanaan dan kesiapan disusun. Banyak pihak yang belajar dari bencana Katrina. Namun kenapa masih ada sebagian orang yang tidak siap.
Selama bertahun-tahun, karena makin bertambahnya pengalamanan, berbagai pihak makin fokus pada metode yang ditujukan untuk perbaikan komunikasi. Investasi di bidang peralatan terbaik juga dilakukan. Namun, komunikasi pada dasarnya tidak hanya bergantung pada teknologi, karena komunikasi merupakan tindakan mengirim dan menerima informasi, data, dan memproses informasi.
Begitu peristiwa bakal terjadi, banyak aset pemerintah berada dalam keadaan siaga. Para pimpinan daerah mengajukan bantuan.
Bantuan yang dijanjikan berdatangan. Sayangnya bantuan itu banyak yang sia-sia. Ketika bencana terjadi, banyak karung pasir untuk menahan air misalnya yang tidak cocok dengan kondisi daerah tersebut. Infrastruktur kritis karena terkena dampaknya, dan masyarakat yang terkena dampak dibiarkan dingin, tak berdaya, dan mengahadapi masalah kelaparan pada hari-hari berikutnya.
Badan-badan pemerintah yang telah mencoba menyiapkan segalanya pada minggu sebelumnya dan menginformasikan kepada masyarakat tentang bencana acara yang bakal menimpa. Tapi, tidak satu pun masyarakat sudah siap untuk menghadapi kekuatan besar badai. Kekurangan bensin, bahan makanan, dan kebutuhan dasar lainnya terkena dampak, bahkan sampai hari ini, medki setahun setelah kejadian, dampaknya masih terasa.
Menurut Michael J. Fagel, penulis buku Crisis Management and Emergency Planning - Preparing for Today’s Challenges ini, masalah tersebut menyangkut budaya, yakni budaya kesiapan. Orang tidak bisa melaksanakan rencana dalam 4 jam apa saja yang belum pernah dipraktekkan. Ketika Anda membaca beberapa bab dalam buku ini, Fagel berbagi dengan Anda tentang beberapa solusi sederhana.
Jika diterapkan secara efektif, solusi itu dapat membantu Anda membangun budaya kesiapan dan perencanaan Anda dalam menangani bencana. Terlepas bencana, apakah itu Sandy, Katrina, World Trade Center dan serangan gedung Pentagon, penembakan, atau krisis lainnya, orang dapat memelajari semua itu dari bab-bab dalam buku ini.
Contohnya antara lain ketika terjadi tragedi di Virginia Polytechnic Institute (16/4/2007). Saat itu seorang mahasiwa, Seung-Hui Cho, menembak dan membunuh 32 siswa dan anggota fakultas lainnya, sebelum dia sendiri mengakhiri hidupnya. Dalam hitungan jam, seluruh masyarakat dibuat bertanya-tanya tentang keamanan.
Sayangnya, kesalahan penanganan sekolah adalah hanya fokus pada kejadian yang menimpanya. Dua jam sebelum masuk ke Virginia Polytechnic, Seung-Hui Cho telah menembak mati dua mahasiswa. Setelah polisi bergegas ke sekolah dan meninilai TKP, pejabat sekolah juga tidak memberitahu orang-orang yang berada di kampus tentang apa yang telah terjadi.
Pemberitahuan hanya dilakukan melalui email yang dikirim kepada setiap mahasiswa. Namun, email itu hanya memberikan peringatan dan memberikan arahan itu cukup meminta agar siswa tetap waspada, , bukannya memerintahkan mereka untuk mundur ke lokasi yang aman baik di dalam maupun di luar kampus. Padahal, Swift dan komunikasi dengan pejabat sekolah atau kampus dengan polisi misalnya bisa menyelamatkan nyawa banyak orang.
Kurangnya, pemberitahuan menunjukkan adanya komunikasi darurat yang terstruktur dan terlatih (Barnett, 2007). Sama seperti individu, organisasi dan lembaga perlu untuk mengatasi komunikasi darurat di rencana darurat menyeluruh. Begitu juga pemerintah di kota, negara bagian, dan federal.