BAGAIMANA DOKTER MENYAMPAIKAN KABAR BURUK EFEKTIF

Menyampaikan kabar buruk adalah tantangan besar bagi dokter. Dengan strategi komunikasi yang tepat, dokter dapat mengurangi dampak negatif dan memberikan dukungan emosional yang lebih baik bagi pasien dan keluarganya.

.

.

Menyampaikan kabar buruk adalah tantangan besar bagi dokter. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada pasien dan keluarganya, tetapi juga dapat memberikan tekanan emosional bagi dokter itu sendiri (Tikka et al., 2020).

Kabar buruk dapat berupa diagnosis penyakit serius, prognosis yang tidak pasti, atau kematian pasien. Oleh karena itu, dokter perlu memiliki strategi yang tepat dalam menyampaikan kabar buruk agar dapat mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi.

Komunikasi yang baik merupakan kunci utama dalam menyampaikan kabar buruk. Dokter harus bersikap empati, sabar, dan jelas dalam memberikan informasi. Salah satu metode yang sering digunakan adalah protokol SPIKES, yang melibatkan enam langkah utama: pengaturan tempat yang nyaman, mengeksplorasi pemahaman pasien, memberikan informasi secara bertahap, menanggapi reaksi emosional, memberikan dukungan, dan menyusun rencana tindak lanjut (Walter et al., 2000). Protokol ini membantu dokter dalam menyampaikan kabar buruk dengan cara yang lebih terstruktur dan mendukung pasien secara emosional.

Tantangan dalam Menyampaikan Kabar Buruk

Salah satu tantangan utama yang dihadapi dokter adalah ketidakpastian medis. Ketidakpastian ini dapat muncul karena diagnosis yang belum pasti, efektivitas pengobatan yang tidak dapat diprediksi, atau perkembangan penyakit yang tidak menentu (Han, 2013; Mishel, 1981). Ketidakpastian ini sering kali membuat pasien dan keluarganya merasa cemas dan membutuhkan penjelasan yang lebih jelas dari dokter (Koffman et al., 2020).

Dalam situasi pandemi COVID-19, dokter menghadapi tantangan tambahan dalam menyampaikan kabar buruk. Banyak pasien yang meninggal sendirian tanpa didampingi keluarga karena kebijakan pembatasan pengunjung di rumah sakit (Nelson, 2020). Hal ini membuat dokter harus menyampaikan kabar buruk melalui telepon atau video call, yang dapat memperburuk dampak emosional bagi keluarga pasien (Wakam et al., 2020).

Penelitian yang dilakukan Yurdakul et al. (2024) menunjukkan sebanyak 120 dokter dimasukkan dalam penelitian ini. Jumlah dokter yang bekerja di cabang penyakit dalam dan bedah yang kira-kira sama dimasukkan dalam penelitian ini (p = 0,540).

Spesialis penyakit dalam mengalami berita buruk lebih sering daripada ahli bedah (p = 0,002). Hanya 14,2% dari mereka yang menyatakan bahwa mereka “selalu” merasa kompeten. Sekitar 68,3% (n = 82) dokter tidak menerima pelatihan apa pun tentang menyampaikan berita buruk.

Lebih dari separuh dokter menyatakan merasa cemas tentang berita buruk, terutama ketika mengumumkan kematian. Pengumuman kematian akibat COVID-19 (5,8%) diikuti pengumuman penyakit fatal (13,3%) dan kehilangan anggota badan dengan kehilangan fungsi (8,3%). Pandemi COVID-19 mengungkapkan kebutuhan dokter akan pendidikan tentang “berita buruk” (Yurdakul et al., 2024).

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)