Pada tahun 2017 dan 2018, Albina Gayoso dari University of Newcastle Australia meneliti bagaimana praktik PR yang dilakukan Donald Trump dan Vladimir Putin, mengungkap strategi komunikasi berbeda yang membentuk citra politik mereka secara global dan abadi.
.

.
Ketika Donald Trump naik ke kursi kepresidenan pada 2017, ia membawa gaya PR yang jauh dari kebiasaan Washington.
Alih-alih berpegang pada protokol kenegaraan yang kaku, Trump membangun citra “orang biasa” yang blak-blaka, spontan, mengandalkan gestur tangan bak konduktor orkestra, dan pesan singkat nan tegas di Twitter.
Setiap “pinch” jari atau tepukan telapak ke podium bukan sekadar bahasa tubuh, melainkan sinyal bahwa ia menguasai panggung.
Strategi ini meretas jarak tradisional antara pemimpin dan audiens, menekankan kesan kedekatan emosional dan mengundang partisipasi massa secara langsung.
Sederhananya, Trump memosisikan dirinya sebagai merek— “Make America Great Again” —yang bisa dimiliki dan dipakai siapa saja.
Sebaliknya, Vladimir Putin dalam pelantikannya pada 2018 memilih pendekatan PR yang berlawanan: terukur, penuh kalkulasi, dan sarat simbolisme sejarah. Setiap elemen upacara dipahat dengan seksama, mulai dari ornamen Seremoni hingga pemilihan Musik dan latar Kekaisaran Rusia.
Putin jarang melompat-lompat di panggung; tatapannya stabil, gesturnya minimal, seolah meyakinkan bahwa kekuatan sejatinya terletak pada ketenangan dan kendali. Semua pidato dibacakan dengan catatan resmi, meneguhkan kesan otoritas yang tak tergerus—sebuah citra “Sang Maestro” yang mengawal zaman Rusia modern.
Dalam hal penyebaran pesan, Trump merangkul gelombang baru digital: unggahan live di media sosial, video viral, serta dialog langsung yang terkadang provokatif.
Di sisi lain, Putin memanfaatkan jaringan negara—media televisi pemerintah yang dominan, media arus utama yang terkoordinasi, dan operasi siber yang halus untuk mendistribusikan narasi kebanggaan nasional.
Ia menegaskan posisi Rusia sebagai negara abadi, menanamkan...