Membesarkan Merek dengan Beramal

Kecap Korma
Dengan membeli kecap bisa mendapatkan pahala infak. Strategi Caused Related Marketing (CRM) ini digunakan oleh PT Korma Jaya Utama tidak sebagai gimmick, tapi selaras dengan visi misi perusahaan yang concern pada nilai-nilai spiritualitas Islam, terutama dakwah yang menyasar majelis taklim dan komunitas pedagang sate madura yang religius, yang menghasilkan emotional bonding yang kuat.

PT. Korma Jaya Utama adalah perusahaan industri pengolahan makanan, khususnya Kecap, yang dalam pengolahannya senantiasa berupaya menerapkan nilai-nilai Islam. Pada dasarnya Perusahaan Kecap Korma berharap dan berusaha agar semua aktivitas yang dijalankan mandapat nilai ibadah disisi Allah SWT.

Demikian yang tertulis di halaman home www.korma.co.id, wesbite PT Korma Jaya Utama, produsen kecap Korma. Spirit agama (baca:Islam) memang sangat kuat dirasakan disini, sebagaimana diakui oleh Taufik Aljufri, General Manager PT Korma Jaya Utama, enam tahun lalu.

“Kecap Korma bukan sekedar bisnis tapi diniatkan untuk memenuhi misi sosial dan dakwah pendirinya yang bisa bermanfaat untuk dunia akhirat,” kata Taufik serius.

“Awalnya adalah pada tahun 1976,” Taufik bercerita. Sebagai sebuah home industry, Kecap Korma diperlakukan 'hanya' sebagai pengisi waktu oleh keluarga besar Husein Ibrahim Assegaf.

Isu lemak babi yang meruap pada tahun 1988 seolah menjadi a blessing disguise, karena khususnya bagi pedagang sate madura pada saat itu ramai-ramai beralih ke Kecap Korma. “Mereka bilang ada orang Arab di Jalan M Saidi yang bikin kecap,” cerita Taufik. Apalagi merek “Korma” yang rapat dengan kesan halal.

Pedagang sate madura yang kuat solidaritas komunitasnya mendorong terjadinya WOM terhadap kecap ini, sehingga permintaan makin meningkat. “Ibu Fetum yang menangani saat itu 'dipaksa' untuk memproduksi dalam jumlah besar,” kata Taufik.

Meski demikian, ada komitmen perusahaan untuk tidak hanya meletakkan bisnis dari perspektif cash cow, tapi mengemban misi sosial sekaligus berdakwah. Dan seakan berusaha menjawab isu profesionalisme, pada tahun 2005 perusahaan perorangan keluarga keturunan arab inipun berubah menjadi perseroan terbatas.

Banyak brand kecap lain yang ikut-ikutan melakukan strategi marketing seperti yang dilakukan Kecap Korma. Namun karena mereka hanya memaknai spiritual marketing sebatas sebagai taktik, banyak dari mereka yang diperdaya oleh customernya sendiri.

Banyak customer yang meminta syarat macam-macam, untuk switch ke kecap tersebut, dan akhirnya mereka tumbang dengan sendirinya. “Jadi penting sekali agar spiritualis marketing tidak hanya lip service, CSR, atau strategi jangka pendek, melainkan selaras dengan visi misi perusahaan,” kata Taufik Aljufri, General Manager PT Korma Jaya Utama).

Sebagai bukti keberpihakan pada urusan akhirat ini, perusahaan menetapkan adanya infak 2,5%, yang pahalanya diperuntukkan bagi pembeli. “Kecap Korma hanya meng-collect, dananya akan disalurkan sesuai dengan peruntukkannya bekerjasama dengan Baznas,” jelas Taufik.

Saat ini, menurut Taufik, 60% dari total pasar Kecap Korma diserap oleh komunitas religius, sisanya oleh modern market, dan industri. Untuk konsumen utamanya ini, Kecap Korma menjalin hubungan strategis dengan majelis taklim, dalam bentuk kerjasama distribusi.

“Keuntungan bagi mereka adalah 2,5% yang akan kami sisihkan untuk mereka, yang bisa digunakan untuk memenuhi mendukung biaya operasional mereka,” jelas Taufik seraya menjelaskan telah bekerjasama dengan sekitar 400 majelis taklim di Jakarta dan sekitarnya.

Hal ini, lanjut Taufik secara tidak langsung membangun persepsi Kecap Korma sebagai brand yang mendukung syiar agama Islam. Oleh karena itu, Kecap Korma selalu menjadi bagian dari kegiatan komunitas muslim misalnya pengajian bulanan, peringatan hari raya agama seperti maulid, isra mi'raj, dan lain-lain.

“Dari sini konsumen melihat hubungan dengan Kecap Korma tidak lagi seperti antara penjual dan pembeli, tapi lebih erat dalam kerangka ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim-red),” kata Taufik.

Melalui agen di lima wilayah Jakarta, lanjut Taufik, Kecap Korma melakukan approaching yang lebih menekankan emotional benefi (kecap halal buatan orang muslim, dengan infak 2,5%) dibanding pendekatan fungsional seperti rasa atau kekentalan.

Dengan pendekatan ini konsumen bahkan rela membeli dengan harga lebih tinggi, karena harga jual Kecap Korma memang lebih tinggi dibandingkan kecap lain seperti ABC atau Bango.

Meski telah terjadi emotional bonding yang kuat, bukan berarti Kecap Korma menafikan kualitas. Buktinya, Kecap Korma juga telah masuk ke segmen B2B dan bekerjasama meluncurkan private label dengan beberapa modern retailer seperti Alfamart, Superindo, dan Hypermart. “Mereka segmen yang tidak peduli ada infak atau tidak, yang penting adalah kualitas,” ujar Taufik.

Selain itu, pedagang sate madura yang merupakan konsumen terbesar, lanjut Taufik, adalah segmen yang sangat peka terhadap kualitas ini, sehingga tidak semata-mata dibutakan oleh emotional benefitnya. (Majalah Mix-Marcomm edisi Mei 2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)