MIX.co.id - HOYA Vision Care, produsen lensa asal Jepang, secara berkelanjutan melakukan edukasi tentang bahaya Myopia melalui program "MiYOSMART Goes to School" (MGTS).
MiYOSMART merupakan lensa kacamata terapi rabun jauh hasil inovasi HOYA yang sudah melewati uji klinis selama enam tahun. Selain mampu mengoreksi dan menghadirkan penglihatan yang jelas, kelebihan dari lensa kacamata terapi MiYOSMART adalah dapat menahan pertumbuhan Myopia pada anak secara bersamaan.
Pada tahun ini, MGTS dilakukan lebih masif dalam sebuah kegiatan memperingati Myopia Week yang digelar di sejumlah sekolah pada 13-19 Mei 2024.
Dalam keterangan tertulis, Managing Director HOYA Lens Indonesia Dodi Rukminto menuturkan, Myopia Week bertujuan untuk menyebarkan informasi bahwa Myopia sedang berkembang dan mempengaruhi anak-anak di seluruh dunia, serta memberikan edukasi tentang opsi perawatan untuk menahan laju perkembangannya.
“Melalui kegiatan yang sejalan dengan program MiYOSMART Goes to School ini, kami ingin menggerakan kepedulian orang tua terhadap kondisi kesehatan anaknya melalui pengecekan mata, edukasi kesehatan mata oleh para ahli, serta menginformasikan adanya opsi kontrol yang telah teruji klinis dan terbukti efektif menahan pertumbuhan Myopia rata-rata 60%, yaitu lensa kacamata terapi MiYOSMART,” papar Dodi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan di berbagai sekolah pada 800 anak usia 5-15 tahun atau tingkat TK hingga SMP, 67% terdeteksi mengalami gangguan refraksi, dan 56% di antaranya merupakan Myopia. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 50% yang telah dikoreksi atau mendapatkan penanganan berupa kacamata single vision.
“Penggunaan lensa MiYOSMART membantu penglihatan dan juga menghambat perkembangan Myopia. Jadi, tidak benar kalau ada anggapan bahwa penggunaan kacamata justru memperparah Myopia,” lanjut Dodi.
Dodi menambahkan, selain penggunaan lensa kacamata terapi MiYOSMART untuk mengendalikan Myopia, HOYA juga terus mengkampanyekan perubahan gaya hidup yang untuk mendukung kesehatan mata dan aktivitas luar ruangan yang sudah terbukti bisa menghambat pertumbuhan gangguan penglihatan ini.
Selain itu, imbuhnya, HOYA juga terus membangun kemitraan dengan sekolah-sekolah, para profesional perawatan mata dan optik dalam untuk mengkampanyekan kesehatan mata dan memerangi peningkatan kasus Myopia di kalangan anak-anak.
Dokter spesialis mata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dr. Ratna Dewi Dwi Tanto, Sp.M, mengaku prihatin dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap Myopia dan pentingnya pemeriksaan mata sejak dini. Padahal, pemeriksaan mata secara dini dan rutin dapat membantu mempercepat penanganan dan mengurangi kondisi Myopia yang diderita anak.
Menurut dokter yang berkontribusi memberikan edukasi di Sekolah Santo Yakobus Jakarta Utara ini, banyak faktor yang menjadi alasan Myopia belum menjadi perhatian bersama, termasuk di lingkungan medis sekalipun, antara lain kurangnya pemahaman tentang risiko jangka panjang yang bisa menimbulkan penyakit mata serius seperti degenerasi makula atau retinal detachment, serta kebanyakan anak cenderung tidak mengeluhkan kelainan pandangannya yang buram.
Masyarakat juga belum banyak yang mengetahui tentang opsi pengendalian Myopia yang efektif, seperti terapi kacamata khusus, lensa kontak, atau terapi farmakologis. Bahkan, katanya, di tengah masyarakat muncul persepsi bahawa Myopia adalah masalah kosmetik belaka yang dapat diatasi dengan kacamata atau lensa kontak, tanpa menyadari potensi konsekuensi jangka panjangnya. Bahkan, ada mitos yang sangat menyesatkan di beberapa kalangan masyarakat yang meyakini bahwa memakai kacamata pada usia dini adalah aib.
Menurutnya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap Myopia bisa dilakukan dengan menggencarkan penyuluhan oleh berbagai pihak dari mulai pemerintah, lembaga kesehatan, hingga organisasi non-profit, memasukkan materi perawatan mata dalam mata pelajaran dan ekstrakulikuler sekolah, memberikan arahan kepada orang tua agar membatasi anaknya dari paparan layar elektronik, memperbanyak layanan kesehatan mata yang terjangkau, hingga penelitian dan pengembangan akademisi dan dunia medis.
“Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman tentang risiko yang terkait dengan Myopia serta opsi pengendalian yang tersedia, diharapkan bahwa perhatian terhadap masalah ini akan meningkat, termasuk di kalangan tenaga medis,” pungkas dr. Ratna Dewi.