Yayasan Anak Bangsa Bisa -- organisasi non-profit yang didirikan oleh grup GoTo -- mengembangkan program Catalyst Changemaker Ecosystem (CCE) sebagai alat perubahan dalam mengatasi masalah sampah di destinasi wisata Indonesia. Mampukah CCE menjadi kekuatan untuk mengubah paradigma?
Pengelolaan sampah di destinasi wisata merupakan isu global yang penting dan mendesak, yang telah menarik perhatian dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, organisasi non-profit, dan masyarakat umum.
Menghadapi tantangan ini, Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB), sebuah organisasi non-profit yang didirikan oleh grup GoTo, meluncurkan inisiatif Catalyst Changemaker Ecosystem (CCE). Inisiatif ini dirancang untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam mengurangi dan mengelola sampah, khususnya di destinasi wisata seperti Bali, Labuan Bajo, dan Danau Toba.
Konsep ekonomi sirkular, di mana sumber daya didaur ulang dan digunakan kembali sebanyak mungkin, adalah prinsip utama dari CCE. Dalam konteks ini, solusi inovatif berbasis ekosistem dipandang sebagai cara untuk mendorong transisi ini.
Namun, perlu diperhatikan bahwa perubahan mendasar seperti ini memerlukan waktu dan investasi yang signifikan. Implementasi ekonomi sirkular tidak hanya melibatkan perubahan teknis dan logistik, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat, yang sering kali lebih sulit dicapai (Ellen MacArthur Foundation, 2015).
Perubahan dalam skala kecil sering kali melibatkan perubahan tindakan - cara kita melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa mencakup perubahan kebiasaan pribadi, seperti memilih untuk mendaur ulang atau mengurangi konsumsi plastik sekali pakai.
Namun, perubahan besar - perubahan yang merombak cara kita melihat dan berinteraksi dengan dunia - memerlukan perubahan paradigma. Ini adalah perubahan mendasar dalam pemahaman kita tentang cara kerja dunia. Misalnya, perubahan dari ekonomi linear (di mana barang diproduksi, digunakan, dan dibuang) ke ekonomi sirkular (di mana barang didesain dan digunakan dengan cara yang memungkinkan mereka didaur ulang dan dipakai kembali) memerlukan perubahan paradigma.
Perubahan paradigma seperti ini memerlukan keterlibatan dan komitmen dari semua pihak - individu, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat luas. Ini juga memerlukan pemahaman dan penerimaan bahwa cara lama melakukan sesuatu mungkin tidak lagi berfungsi, dan bahwa kita perlu mencari cara baru dan lebih berkelanjutan untuk maju.
Partisipasi masyarakat adalah kunci dalam pengelolaan sampah. Masyarakat setempat dan wisatawan harus dilibatkan dalam upaya ini, dan peran mereka dalam mengurangi dan mengelola sampah harus diakui dan diperkuat (Oosterveer, 2009). Dalam konteks ini, tampaknya ada ruang untuk CCE untuk lebih menjelaskan bagaimana mereka berencana melibatkan masyarakat dan wisatawan dalam inisiatif mereka.
Lihat juga ke inisiatif serupa di tempat lain bisa membantu YABB dalam mendesain dan menerapkan CCE. Memahami apa yang berhasil dan apa yang tidak di tempat lain bisa memberikan wawasan berharga dan membantu meningkatkan efektivitas program ini (Kaza et al., 2018).
Terakhir, pengukuran dan evaluasi adalah komponen penting dari setiap inisiatif seperti ini. Mereka memungkinkan organisasi dan pemangku kepentingan lainnya untuk melacak kemajuan, menilai dampak, dan membuat penyesuaian yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas program (Lange & McNeil, 2004).
RUJUKAN:
Ellen MacArthur Foundation. (2015). Towards a Circular Economy: Business Rationale for an Accelerated Transition.
Oosterveer, P. (2009). Urban Environmental Services and the State in East Asia: Applying the Strategic-Relational Approach. Pacific Affairs, 82(4), 555–575.
Kaza, S., Yao, L. C., Bhada-Tata, P., & Van Woerden, F. (2018). What a Waste 2.0: A Global Snapshot of Solid Waste Management to 2050. World Bank.
Lange, P., & McNeil, D. (2004). An International Study of the Factors Influencing the Development of Environmental Initiatives in the Solid Waste Management Industry.