10 Rebranding Campaign Paling Sukses

Melakukan rebranding merupakan hal yang tidak mudah. Tak sedikit perusahaan yang telah mencoba melakukannya, namun tak sedikit juga yang mengalami kegagalan. Ya, kampanye rebranding yang sukses memang tak semata mengubah logo. Strategi rebranding membutuhkan sebuah visi yang dapat mendorong konsumen, investor, dan stakeholder lainnya untuk memandang perusahaan melalui sudut pandang yang baru.

Penulis: Dwi Wulandari/Laporan: Eky Ilmastuti

rebranding rebranding

Sejatinya, melalui strategi marketing yang cerdas sekaligus quality control yang lebih baik, sejumlah perusahaan telah berhasil menemukan cara-cara atau pendekatan baru untuk dapat menghidupkan kembali brand (Rebranding). Bahkan, strategi rebranding yang tepat juga sanggup mengembalikan kejayaan brand. Untuk beberapa kasus, sejumlah perusahaan yang melakukan re-branding malah telah berhasil menjadikan brand mereka lebih kuat dibandingkan sebelumnya.

Berikut ini adalah sepuluh perusahaan yang berhasil menjadi lebih kuat setelah melakukan rebranding:

1. J. Crew, Rebranding via Brand Endorser Terpercaya
Rebranding dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, melancarkan strategi rebranding dengan memanfaatkan brand endorser ternama. Tentu saja, brand endorser yang dipilih harus memiliki image positif sekaligus tingkat trust yang tinggi di mata publik.

Contohnya, gerai fesyen J. Crew, yang dengan cerdas menggandeng ibu negara Amerika, Michelle Obama. Tak hanya Michelle yang didaulat sebagai brand endorser, keluarganya pun dilibatkan untuk meng-endorse J. Crew. Keempat anggota keluarga presiden menggunakan brand J. Craw di sepanjang pesta inagurasi.

Bahkan, ketika Michelle Obama muncul di acara “The Tonight Show”, ia tak malu-malu mengungkapkan kepada sang pembawa acara, Jay Leno, bahwa sweater kuning, rok, dan blus yang ia kenakan merupakan satu stel pakaian dari J.Crew.

Hasilnya, penjualan J. Crew mengalami penurunan tajam ketika Millard Drexler muncul sebagai CEO baru di perusahaan tersebut pada tahun 2003. Di bawah arahan Drexler, J. Crew berhasil rebound secara dramatis, dengan menggandeng Michelle Obama sebagai brand endorser-nya.

Pada tahun 2005, J.Crew sukses menghasilkan 3.8 juta USD yang sekaligus merupakan profit pertama mereka dalam lima tahun terakhir. Tidak hanya itu, menurut Wall Street Journal antara tahun 2003 hingga 2008, perusahaan ini berhasil memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 107 persen. Pada tahun 2009, J.Crew berhasil memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan masa sebelum resesi serta penjualan toko berhasil naik sebesar 11 persen. Bahkan, firma-firma ekuitas swasta bernama TPG Capital serta Leonard Green & Partners sedang mengadakan pembicaraan untuk membeli J.Crew, dengan nilai yang disepakati sekitar 3 miliar USD.

2. Burberry, Rebranding via Inovasi Produk
Burberry sebenarnya tergolong merek fesyen yang sangat lama di Inggris. Lantaran, usia mereknya yang sudah lebih dari 150 tahun. Sayangnya, sebagai merek lawas, Burberry nyaris tak mampu mengikuti perkembangan fesyen yang tercatat sangat dinamis. Produk-produknya pun akhirnya dianggap lusuh dan over-extended. Image Burberry makin buruk, lantaran dicap konsumen sebagai pakaian preman.

Adalah Christopher Bailey, Creative Director Burberry yang ditugaskan untuk melakukan re-branding pada tahun 2001. Ia mampu merombak brand Burberry dengan menyajikan fesyen berkonsep modern-klasik. Artinya, ia mampu menampilkan gaya modern, tanpa menghilangkan kekuatan “klasik” yang dimiliki Burberry sebagai brand heritage. Konsep modern-klasik itu dituangkan dalam desain trench coat dan pakaian renang seksi.

Hasilnya, fesyen berkonsep modern-klasik Burberry berhasil menghentakkan sejumlah figur selebritis papan atas, seperti Kate Moss dan aktris Emma Watson. Selain itu, Market Oracle mengungkapkan bahwa Burberry mengalami kenaikan penjualan sebesar 27 persen atau mencapai 747 juta USD dari kuartal ketiga hingga 31 Desember 2011. Penjualan Burberry juga dapat meningkat lagi sebesar 11 persen pada Maret 2012. Bahkan, Burberry telah melakukan ekspansi ke Cina secara terus menerus.

3. Pabst Blue Ribbon, Rebranding via Premiumisasi Merek
Pabst Blue Ribbon adalah merke bir asal Milwaukee, Amerika. Di negara asalnya itu, bir Pabst Blue Ribbon atau bir Milwaukee dikenal sebagai bir murah dan minuman pilihan di kalangan mahasiswa dan hipster.

Sebagai pasar bir terbesar di dunia, distributor Cina yang memegang lisensi produk Pabst Blue Ribbon, memilih strategi rebranding, dengan mengganti mereknya menjadi “Blue Ribbon 1844”. Penamaan tersebut sesuai dengan tahun didirikannya perusahaan Pabst Brewing. Sejalan dengan re-name yang terkesan mewah, langkah premiusmisasi juga dilakukan dengan melakukan re-packaging menjadi bir berkemasan mewah. Untuk memperkuat image premiumnya, harga Blue Ribbon 1844 pun dipatok dengan nilai premium, dijual 44 USD di Cina.

4. Harley Davidson, Rebranding via Product Improvement
Mengandalkan kekuatan brand heritage dan pelanggan loyal saja tidaklah cukup untuk sebuah brand lawas. Agar brand tak dimakan usia, pengelola merek harus mampu melakukan rebranding. Obyektifnya, tentu saja agar pelanggaan makin loyal, dan new market dapat diraih. Salah satunya, re-branding dengan melakukan product improvement lewat produk yang berkualitas.

Harley Davidson adalah contoh yang layak ditiru. Pernah hampir bangkrut, tepatnya 1985 ketika motor-motor Harley sempat hilang dari jalan-jalan, sekarang Harley Davidson adalah brand sepeda motor yang paling reliabel.

Richard F. Teerlink, sang tokoh yang merupakan mantan CFO kemudian beralih menjadi CEO, mengakui bahwa produk Harley Davidson-lah yang akhirnya melakukan penyesuaian diri dengan brand-nya yang sudah terkenal. Yakni, melalui strategi product improvement. Selain itu, Richard juga memotong manajemen yang tidak efisien, agar tidak menjadi penghambat.

5. McDonal's, Rebranding via Mengubah Brand Image
Dipersepsi negatif oleh publik memang Pe-eR (pekerjaan rumah) tersendiri bagi pengelola merek. Selain harus mampu mengubah persepsi menjadi positif sekaligus membantah isu miring yang telanjur tertanam di benak konsumen, pengelola merek harus mampu menawarkan produk atau varian baru, sebagai langkah memperkuat brand image baru yang tengah dibangun.

McDonald's adalah salah satu contoh yang menarik untuk disimak pada kasus ini. Telanjur dipersepsi sebagai restoran junk food yang juga penyebab utama obesitas, membuat publik waspada untuk mengonsumsi McDonald's. Bahkan, tak sedikit isu miring yang mengolok-olok McDonald's bermunculan.

Akhirnya, strategi rebranding pun dilakukan. Yakni, dengan mengubah persepsi atau re-brand image McDonald's menjadi resto yang sadar akan kesehatan. Untuk memperkuat brand image baru tersebut, maka McDonald's menghadirkan varian menu baru yang lebih sehat, seperti variasi salada dan menu sehat lainnya.

Selain itu, masih menggunakan slogan “I'm lovin it,” yang disenandungkan oleh Justin Timberlake, dan juga slogan terbaru “what we're made of”, pesan komunikasi dikemas layaknya keluarga dan pasangan muda yang terlihat menikmati makanan mereka di McDonald's.

Hasilnya, pasca re-branding, McDonald's Corp melaporkan kenaikan penjualan sebesar 5.3 persen pada bulan Januari di gera-gerai lebih dari setahun. Bahkan, menduduki peringkat di atas rata-rata perkiraan analis-analis sebesar 4 persen, menurut FactSet Research.

6. Target, Rebranding via Premium Brand with Competitive Price
Menawarkan diskon hampir sepanjang masa memang berisiko untuk dipersepsi sebagai brand ritel yang “murahan”. Sejatinya, menyikapi agresivitas kompetitor sekaligus merebutkan hati konsumen tidak harus selalu dengan strategi diskon. Namun, dapat dilakukan dengan menghadirkan produk atau merchandise dari merek ternama (premium brand), namun dengan harga yang kompetitif.

Target, sebagai ritel yang di akhir 1990-an sempat dipersepsi sebagai salah satu toko retailer diskonan, memilih mengubah strateginya. Target menghadirkan versi murah dari desainer pakaian dan merchandise melalui kontrak eksklusif dengan desainer-desainer papan atas, seperti Issac Mizrahi, Mossimo Giannulli, Michael Graves, Fiorucci, dan sebagainya.

Target pun mulai tampil lebih unggul dibanding kompetitor-kompetitornya dan menjadi favorit kalangan profesional menengah muda. Kini, Target menjadi toko retalier diskon terbesar kedua di Amerika, setelah Wal-Mart. Toko-toko Target ada pada hampir setiap negara bagian. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga telah mengumumkan rencananya untuk ekspansi ke Kanada melalui 100-150 toko di Kanada pada tahun 2013.

7. Wal-Mart, Rebranding via Mengganti Tagline
Tagline atau slogan rupanya menjadi salah satu poin penting dalam menentukan persepsi sebuah merek. Oleh karena itu, merumuskan tagline yang tepat menjadi tugas marketer atau pemasar. Sejatinya, tagline baru juga harus dimplementasikan pada seluruh aspek bisnis.

Kali ini, perjalanan re-branding Walmart bisa menjadi salah satu contohnya. Dalam rangka mengubah image-nya, ritel Wal-Mart mengganti slogan atau tagline “Always Low Prices” di tahun 2007, menjadi “Save Money, Live Better”.

Perubahan tagline tentu saja diikuti dengan perubahan di seluruh aspek bisnis Wal-Mart. Untuk itu, Wal-mart merilis sebuah pernyataan bahwa slogan baru telah diwujudkan dalam seluruh aspek perusahaan. Salah satunya, new in-store experience, mulai dari mendesain interior baru, hingga menunjukkan konsep baru display-nya.

Hasilnya, pada tahun 2010, Wal-Mart merupakan perusahaan publik terbesar ditinjau dari sisi pemasukan, menurut Forbes Global 2000 pada tahun tersebut. Sementara retailer-retailer lainnya mengalami pukulan berat akibat resesi, CEO Lee Scott mengatakan bahwa Wal-Mart sedang “sangat baik” pada 2008 dan dibangun untuk tetap berkembang di tengah masa sulit ekonomi.

8. Old Spince, Rebranding via Smart Online Campaign
Agar tetap menjadikan brand tampil muda, meskipun sudah memasuki usia lawas, dibutuhkan kampanye komuniksi yang cerdas. Kanal digital atau online bisa menjadi salah satu pilihan untuk membuat brand tampil muda. Lantaran, digital media memang akrab di kalangan anak muda. Namun, tetap dibutuhkan konsep komunikasi yang kreatif agar hasil kampanye di media online dapat optimal dan berdampak pada viralisasi.

Contoh paling menarik dari kasus tersebut adalah Old Spice. Old Spice tiba-tiba berubah menjadi Old Spice yang baru, tanpa mengganti logonya. Ya, sejak iklan pertama dengan brand ambassador Isaiah Mustafa (pemain NFL) diluncurkan setahun lalu, brand berusia 70 tahun yang iklannya berhasil meraih jutaan penonton online itu memiliki frase baru, yakni "I'm on a horse."

Selanjutnya, Old Spice menindaklanjuti kampanyenya itu dengan 186 video terkait, yang mana Mustafa merespon secara langsung pertanyaan-pertanyaan digital dari bloggers dan selebritis, termasuk Perez Hilton, Ellen DeGeneres, dan Alyssa Milano.

9. Apple, Rebranding via Produk yang Kreatif
Perusahaan besar yang sudah lama eksis juga dapat menuju fase kebangkrutan, jika mereka tidak mampu beradaptasi dengan dinamisasi market. Apalagi, bicara produk teknologi, yang siklus hidup produknya terhitung sangat cepat, laiknya produk fesyen. Oleh karena itu, kontinyu menghadirkan produk yang kreatif dan experiential bisa menjadi salah satu kuncinya.

Contoh yang paling mudah adalah kisah Apple di bawah komando Steve Jobs. Pernah hampir bangkrut, sekarang Apple justru berjaya di dunia. Ya, Apple berubah dengan memproduksi produk-produk yang reliabel dan memiliki desain elegan, seperti iMac, iPod, serta iPad. Tak cukup pada produk, Apple pun mengekspresikan brand-nya ke level pengalaman di toko.

Hasilnya, Apple berhasil menjadi raksasa di bidang teknologi. Hampir setiap produk yang dirilis menjadi hit hanya dalam waktu singkat. Bahkan, setiap langkah yang diambil Steve Jobs membuat media menjadi hiruk-pikuk.

10. UPS, Rebranding via Slogan yang Visioner
Memilih slogan atau tagline yang tepat menjadi salah satu tugas marketer. Alih-alih salah memilih slogan, maka akan berisiko pada kinerja brand. Oleh karena itu, gunakan slogan yang sifatnya personal, inovatif, dan visioner. Sejatinya, pemilihan slogan yang tepat dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan dari sebuah brand.

Tengok saja kasus yang dialami UPS. Di tengah persaingan antara UPS dan FedEX, UPS telah mati-matian mencari cara untuk mengalahkan kompetitornya pada akhir tahun 1990. Kompetitornya tak lain adalah FedEx, yang memperkenalkan layanan antar dalam semalam dan kemampuan untuk melacak paket dengan menggunakan komputer.

UPS pun mengganti slogan “Moving at the speed of business" dengan "What can brown do for you?" dan menciptakan iklan dengan karakter-karakter, seperti “Mailroom Guy,” dan “CEO”, untuk menunjukkan bahwa tidak peduli di mana pun kedudukan seseorang di manajerial, UPS dapat membantu orang tersebut.

UPS mengklaim menggunakan slogan terbarunya, “We Logistics" sebagai slogan global pertama raksasa perusahaan pengiriman barang, didesain untuk memberikan sorotan pada posisinya sebagai sebuah perusahaan yang melayani pelanggan di seluruh dunia.

Pendekatan baru tersebut mulai menunjukkan hasil. UPS mencatat margin keuntungan dua kali lipat dari margin FedEx pada tahun 2001. Bloomberg Businessweek juga menyebutkan bahwa pada beberapa bidang, UPS mampu memenangkan pertarungan di pasar ekspedisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)