Beginilah Strategi Menggarap Konsumen Pemburu Kesenangan

fun seeker
Sepuluh tahun silam Nielsen Media Research me-release hasil surveynya tentang kebiasaan berbelanja orang-orang kaya Indonesia yang tinggal di kota-kota besar.

Perusahaan riset global ini menemukan bahwa sekitar 55% dari mereka ternyata adalah orang-orang yang doyan berbelanja dan suka memanjakan dirinya dengan kesenangan duniawi. Nielsen menyebut mereka sebagai kalangan fashion forward dan constant hedonist. Bagaimana J.Co menggarap segmen pasar ini

Kalangan upper market ini tidak akan berpikir dua kali untuk memutuskan membeli barang yang mereka sukai, berapa pun harganya. “Kalau suka, langsung beli,” ujar Ananto Pratikno, Direktur Eksekutif Nielsen Media Research tentang gaya hidup orang-orang yang pengeluaran rutin rumah tangganya lebih dari Rp 4 juta per bulan itu, sepuluh tahun lalu.

Meskipun populasi segmen ini terbatas—hanya menempati pucuk piramida konsumen, daya beli mereka justru sebaliknya, sangat besar, bahkan untuk kalangan super premium, nyaris tak berbatas.

Maka tak heran kini semakin banyak perusahaan yang menyasar segmen ini. Tidak percaya? Lihatlah media yang disasarkan untuk segmen fun seekers dan fashion forward ini. Iklannya bejibun.

Para pemilik merek berlomba-lomba merebut perhatian mereka lewat iklan yang dipasang di media itu. Maklum, survey Nielsen Media Research juga menunjukkan bahwa kalangan fashion forward ini paling doyan mengkonsumsi media.

Menyasar segmen ini ada seninya. Marketer tidak bisa semata-mata menawarkan produk, namun harus menawarkan sesuatu yang menjadi bagian dari gaya hidup target market.

Lihatlah bagaimana J.Co.Donuts menggarap pasar ini. PR & Promotion Executive J.Co. Donuts (saat itu) Indriyana Liztya, mau berbagi pengalamannya. Dia menuturkan bagaimana J.Co. menawarkan strategi marketing modern life style.

Menurut Indriyana, pada dasarnya J.Co. tidak hanya menawarkan donat yang enak, tapi juga suasana yang enak, nyaman, dan cozy. “Karena sebenarnya customer mencari sesuatu yang lebih dari sekadar donat,” tutur Indriyana.

Donat, katanya, biasanya dibeli sambil lalu (take away). Tapi donat menjadi produk gaya hidup, bilamana cara mengkonsumsinya di-combain dengan minuman, sambil duduk di café dan mendengarkan musik.

Untuk itu, katanya,J.Co. mendesain ruangan café dengan desain yang “tidak biasa.” J.Co. mendatangkan konsultan design interior dari luar negeri—juga untuk desain identitas merek J.Co. “Karena kami ingin dipersepsi sebagai brand dari luar.”

Untuk menghadirkan musik yang cocok dengan selera customer, J.Co, bahkan memiliki music director yang punya pemahaman terhadap musik yang diinginkan target market yang dituju. Gabungan dari value added ini, katanya, menghadirkan outlet yang nyaman bagi konsumen.

Menggarap segmen ini, menurut Indriyana, dapat dilakukan dengan ritual consumption. Dalam hal ini, katanya, J.Co.menghidupkan ritual memakan donat dengan secangkir kopi. Edukasi tentang ritual consumption ini, katanya, terus dilakukan oleh J.Co.

“Di gelas minuman kami tulis kalimat-kalimat—hasil riset—bahwa minuman yang baik dikonsumsi bersama donut adalah nomor satu kopi, nomor dua susu, nomor tiga lemonade,” ujarnya sambil menambahkan bahwa karena itu selain kopi, J.Co. menyediakan minuman berbahan dasar susu dan buah-buahan.

Tulisan edukasi ritual consumtion ini, katanya, berbeda-beda di setiap cangkir. Copy write lain tentang bagaimana caranya “ngedunk” (mencelupkan) donat ke kopi.

Menurut Indriyana, ritual yang menyenangkan itu dikomunikasikan kepada target market, antara lain melalui gambar-gambar secangkir kopi dengan donat yang siap dicelupkan—dipajang di tempat konsumen memilih donat.

“Black Coffee kan pahit, sementara donat rasanya agak manis. Pada saat dicelupkan ke kopi, rasa manisnya membaur dengan kopi pahit. Tidak semua lidah konsumen familiar dengan ritual ini memang. Tapi ini menyenangkan, sensasional,” katanya.

Ritual lain, makan donat tanpa sendok dan makan donat dengan choco melt. “Donat itu tidak untuk disendok atau dibelah. Karena makan dengan sendok membuat topping donat tidak bisa dinikmati dengan cara maksimal, topping bisa menempel di sendok.”

Donat juga enak dimakan dengan choco melt. Ritualnya, secangkir kecil minuman coklat panas kental ditemani secangkir kecil susu kental disajikan bersama donat yang belum diberi topping dan masih terasa tawar.

“Donat dicelupkan ke dalam minuman coklat. Jika suka atau ingin mengurangi kekentalan, coklat bisa dicampur dengan susu, kemudian diaduk agak lama sampai tercampur rata. Donat yang dicelup harus utuh. Angkat dan langsung dimakan.”

Menurut Indriyana, makan donat dengan choco melt sebenarnya rasanya sama dengan Donuts Chocoloco. “Cara penyajiannya saja yang berbeda. Akan lebih nikmat jika donat dicelup lebih dalam dan dibiarkan agak dingin baru dimakan,” katanya.

Ritual makan donat dengan choco melt sebetulnya ditemukan dengan tidak sengaja. “Awalnya kami hanya menjual hanya minuman. Tapi dalam perkembangannya kami melihat bahwa produk kami ini unik, belum ada di tempat lain. Atau bisa dibilang jarang sekali mendapati coklat meleleh yang bisa langsung diminum dijual atau dinikmati sambil duduk-duduk di sofa, kecuali kita buat di rumah.”

Ritual ini juga dikomunikasikan lewat gambar yang ditaruh di depan outlet. Dalam penamaan produk pun brand yang menyasar segmen ini harus tetap berusaha modern dan stylish. J.Co. memberi nama donat the best seller-nya sebagai Al Capone, tokoh mafia legendaris yang pada masanya selalu dicari-cari oleh polisi dan media.

“Tapi kalau di sini, Al Capone selalu dicari-cari konsumen.” Ada juga Chocoloco and the Choclate Factory—donat dengan lapisan coklat di seluruh permukaannya—yang merupakan plesetan dari sebuah film tentang pabrik coklat.

“Biasanya anak-anak kecil tahu ketika disebut judul film ini, mereka akan langsung ingat Charlie, salah satu tokoh di film itu.”

Menurut Indriyana, secara langsung nama-nama itu memang tidak ada kaitannya dengan donat. “Tapi ketika nama itu kami pakai, jadi lucu dan membuat mereka ketawa ketika makan—karena juga teringat akan film itu,” kata Indriaya sambil menambahkan bahwa donat Chocoloco and the Choclate Factory ini disukai anak-anak dan orang dewasa karena coklat Belgium yang digunakan rasanya tidak terlalu manis.

Indriyana juga menekankan pentingnya selalu up date dengan perubahan kebiasaan customer dan meresponnya dalam produk-produk yang inovatif—agar selalu mencitrakan bahwa produknya modern.

Berbicara gaya hidup modern, menurut Indiyana, perubahan kebiasaan menjadi hal berpengaruh, terutama dalam pilihan media yang mereka gunakan. Banyak media yang dipakai untuk menyalurkan gaya hidup dan kebiasaan mereka, di antaranya internet, tuturnya.

“Kami sadar itu. Sekali kita ketinggalan apa yang sedang mereka bicarakan, apa yang menjadi gaya hidup mereka, dampaknya akan terasa sekali.” Karena itulah, katanya, J.Co. memiliki frendster, rajin surfing di internet untuk mengenal beragam komunitas dunia maya, dan dalam waktu dekat akan meluncurkan website untuk mewadahi komunitas pecinta J.Co.

Melalui frendster dan blog, menurut Indriyana, J.Co. menciptakan menjadi buzz word dan viral marketing. Indriyana juga menceritakan bahwa anak-anak Indonesia di luar negeri yang baru pulang dari Tanah Air biasanya akan menceritakan pengalaman mereka di J.Co. kepada komunitasnya lewat dunia maya.

“Mereka menulis bahwa di Indonesia kini ada J.Co. Dari sana kami melihat ternyata J.Co. memiliki banyak community.”

Dan akhirnya, selain harus connect dengan perubahan gaya hidup konsumen, melayani segmen life style juga harus komit melakukan inovasi untuk merespon perubahan tersebut. Contoh di J.Co., mereka rajin membuat inovasi produk untuk menghadapi tren yang sedang berkembang.

“Ketika sedang in minuman teh hijau dan gaya hidup sehat, kami mengeluarkan donat Miss Green Tea yang identik sekali dengan wanita. Ini adalah donat yang topping-nya green tea,” katanya sambil menambahkan bahwa produk ini dipersepsikan sebagai wanita bertubuh hijau, tapi cantik dan smart—sehingga produk ini dinamakan Miss Green Tea.

Menyusul kemudian J.Co. meluncurkan Mr Green Tea sebagai pasangan Miss Green Tea. Bedanya, kalau Miss Green Tea topping-nya terbuat dari coklat putih non fat, maka Mr Green Tea dari almond.

Menurut Indriyana, pada dasarnya semua jenis produk bisa menyasar segmen gaya hidup modern. “Asal tahu caranya bagaimana mengkomunikasikan agar menyatu dengan gaya hidup, tidak sekadar menonjolkan keunggulan fungsional,” katanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)