Branding Strategy: Mau Jadi Preferensi atau Relevan?

BRAND RELEVANCE

Ada dua cara untuk memenangkan persaingan merek di pasar. Pertama dan yang paling umum adalah berfokus pada peningkatan preferensi merek. Sederhananya, misalnya, seorang konsumen memutuskan untuk membeli mobil SUV. Pilihan yang mungkin tersedia adalah Lexus, BMW atau Cadillac. Ketiganya memiliki visibilitas dan kredibilitas yang sama –sama layak dipertimbangkan. Konsumen tadi lalu menjatuhkan pilihannya pada Cadillac. Ini berarti Cadillac lebih disukai ketimbang Lexus dan BMW. Ini berarti pula -- biasanya – Cadillac unggul di setidaknya satu dari beberapa dimensi yang membedakan antara produk satu dan lainnya. Sebaliknya, dimensi lainnya bisa ditebak sama.

Dalam pandangan David A Aaker – seperi ditulis dalam buku Brand Relevance ini – preferensi merek bisa dikembangkan dengan melibatkan inovasi tambahan untuk membuat merek yang lebih menarik atau dapat diandalkan atau menawarkan merek. Yang aling mudah adalah dengan menawarkan harga lebih murah. Bisa juga dengan mengandalkan penawaran lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik. Disini, sumber daya dikerahkan untuk menghasilkan komunikasi secara lebih efektif dengan iklan yang lebih cerdas, promosi yang lebih berdampak, sponsorship yang lebih terlihat, dan lebih banyak melibatkan sosial media.

Akan tetapi, strategi presefensi merek jarang bisa mengeluarkan merek dari kekakacauan pasar. Ini karena strategi seperti ini masih berfokus dan berkomitmen pada penawaran, model bisnis dan target segmen yang ada. Dengan kata lain, kata Aaker, pemasar yang menggunakan model preferensi merek klasik menapaki jalan yang semakin sulit untuk sukses di pasar yang dinamis seperti sekarang ini. Ini karena tidak membuat pelanggan berkecenderungan atau termotivasi untuk mengubah loyalitasnya terhadap suatu merek di pasar.

Bila kondisi demikian, merek dianggap kosumen serupa. Akibatnya, pelanggan tidak termotivasi untuk belajar atau mencari alternatif. Selanjutnya, ketika pemasar menawarkan sesuatu yang lebih atau pemasaran yang efektif dikembangkan, pesaing biasanya menanggapinya sehingga keuntungan yang dipetik dari strategi itu seringkali berumur pendek. Akibatnya, strategi preferensi merek biasanya dianggap sebagai resep yang menekankan margin, dan menghasilkan profitabilitas tidak memuaskan. Sehingga pada akhirnya, penurunan margin tersebut menjadi tidak relevan.

Berdasarkan alasan itu, Aaker mengajukan rute kedua, yakni dengan menciptakan kategori atau subkategori baru yang dapat mengubah cara pelanggan melihat keputusan pembelian dan menggunakan pengalamannya. Dalam strategi brand relevance, pemilihan kategori atau subkategori merupakan langkah penting dalam menentukan dimensi yang harus ada pada suatu merek sehingga dianggap relevan. Selanjutnya, pelanggan mengidentifikasinya sebagai merek yang visible dan kredibel pada kategori atau subkategori tersebut.

Dari banyak kasus yang ditelitinya, Aaker mengambil kesimpulan bahwa seringkali merek yang kinerjanya menurun bukan disebabkan merek tersebut telah kehilangan kemampuannya dalam mendeliver nilai atau loyalitas penggunanya memudar. Akan tetapi penurunan kinerja itu karena merek-merek tersebut menjadi kurang relevan. Artinya, apa yang dijual merek-merek yang menurun tadi tidak lagi sesuai dengan perilaku pembelian konsumen yang lebih tertarik pada kategori atau subkategori baru. Atau bisa jadi merek yang kinerja menurun tadi karena merek tersebut tidak lagi dipertimbangkan oleh konsumen karena kehilangan energi dan visibilitas.

Aaker lalu menunjukkan fenomena persaingan bir di Jepang. Selama kurun 50 tahun, kata Aaker, lansekap pangsa pasar industri bir Jepang mengalami empat kali perubahan. Yang menarik, tiga dari empat perubahan itu terjadi saat subkategori baru diperkenalkan. Sementara fenomena lainnya terjadi saat subkategori direposisi.

Seperti diketahui, sejak 1960 hingga 1985, Kirin menguasai 60% pasar bir Jepang. Posisinya itu seakan tak tergoyahkan meskipun banyak pesaing yang berupaya kuat “menghancurkannya”, termasuk dengan meluncurkan produk baru. Sampai pada tahun 1986, Asahi – yang saat itu dalam posisi underdog, memperkenalkan Asahi Super Dry dan langsung mengambil pangsa 10% dari Kirin.

Pada tahun 1990, penurunan pasar Kirin berhenti setelah meluncurkan subkategori baru, Kirin Ichiban. Namun, pada tahun 1996, Asahi mereposisi dry beer-nya menjadi draft beer dan bir segar sehingga memperoleh kembali pangsa pasar lebih banyak, bahkan melampui Kirin. Selanjutnya, Kirin mengambil alih kepemimpin pasar kembali setelah meluncurkan subkategori baru , Happoshu -- bir dengan kandungan malt rendah, dan karenanya berpajak rendah – dengan merek Kirin Tanrei. Pada awal 2001, setelah subkategori baru mencapai sekitar 18 persen pasar bir di Jepang, Asahi masuk ke pasar ini namun tidak berhasil menggusur Kirin.

Ini merupakan gambaran yang luar biasa. Bagaimana tidak, selama 50 tahun pasar bir di Jepang tidak mengalamai perubahan dalam konteks persaingan karena hanya melibatkan dua merek. Pangsa pasar itu berubah setelah diperkenalkan sub-kategori baru dalam suatu industry dengan anggaran pemasaran yang besar dan program pemasaran yang inovatif.

Di Amerika Serikat juga terjadi fenomena yang sama. Selama bertahun-tahun IBM mendominasi industri komputer awal. Para pesaing kemudian muncul namun bukan dari kelompok bisnis sejenis, melainkan dari perusahaan-perusahaan yang menciptakan subkategori baru. Digital Equipment Corp, misalnya, dengan menggunakan teknologi sirkuit terpadu memperkenalkan minicomputer dan menjadi produsen komputer terbesar nomor dua di dunia.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)