Fantasy Marketing

fantasy marketing

Brand activation bisa dikatakan berhasil bila mampu membangun fantasi. Ketika brand fantasy berhasil dibangun, ia tidak memerlukan komunikasi besar-besaran yang menghabiskan biaya. Cukup melalui kelompok kecil yang memiliki kredibilitas untuk menyebarkan fantasinya ke masyarakat.

Wajar bila kini banyak merek yang memanfaatkan tema-tema fantasi untuk mengkomunikasikan benefitnya. Tema fantasi dirancang untuk membawa audience ke pengalaman di luar batasan yang mereka percaya sebagai sebuah realitas, meski dalam beberapa kasus beberapa fantasi ditujukan agar audience untuk bersikap realistis. Dengan memanfaatkan teknologi digital (multimedia), orang-orang kreatif di periklanan dapat menghasilkan urutan fantasi yang seolah-olah nyata.

Sedemikian pentingkah fantasi itu? Pada dekade 1960an, Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota, menemukan suatu fenomena yang kemudian disebut sebagai proses sharing fantasi. Dalam konsep ini ada asumsi bahwa pada dasarnya seseorang itu adalah pendramatisir.

Menurut konsep yang secara akademis disebut Teori Konvergensi Simbolik ini seseorang cenderung mendramatisasi pesan dengan menggunakan permainan kata-kata, cerita, analogi, dan atau pidato yang menghidupkan interaksi dalam kelompok sehingga membentuk suatu fantasi.

Kongkritnya, setiap kali seseorang itu memasuki dalam sebuah kelompok maka senantiasa terjadi semacam obrolan atau pembicaraan atau saling bertukar kisah/story.

Apa yang dianggap penting untuk diperbincangkan itulah yang disebut sebagai tema fantasi. Dalam setiap topik kisah itu senantiasa akan ditemui tokoh/karakter yang dianggap tokoh, juga ada dalam sebuah seting tertentu dan akhirnya ada dalam bingkai legitimasi tertentu misalnya yang menjadi sumber legitimasi itu adalah hal yang bersifat religius, atau politik atau keadilan dan sebagainya.

Disini setiap individu akan saling berbagi fantasi karena kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisi pesan memiliki kemampuan retoris yang baik. Suatu cerita, lelucon, atau permainan kata-kata yang sering terjadi dalam suatu kelompok tampaknya tidak bermakna apa-apa. Semuanya tidak memiliki efek dalam interaksi selanjutnya.

Akan tetapi, kadang-kadang salah seorang dari anggota kelompok mengambil pesan tersebut kemudian membumbui cerita itu dan mungkin mendramatisi pesan dengan gaya cerita masing-masing. Dalam teori konvergensi simbolik, partisipasi ini dikenal dengan rantai fantasi dan saat hal itu terjadi, individu-individu tersebut telah berbagi kelompok fantasi.

Dalam konvergensi simbolik dibutuhkan adanya visi retorik, hikayat, dan kesadaran yang berkelanjutan. Karena itu, konvergensi simbolik tidak memerlukan komunikasi besar-besaran seperti layaknya promosi yang menghabiskan biaya. Cukup melalui kelompok kecil yang memiliki kredibilitas menyebarkan informasi ke masyarakat.

Sementara itu Holbrook (2006) menggarisbawahi pentingnya fantasi, perasaan, dan hal-hal yang menyenangkan dalam perilaku konsumen.

Fantasi dan cerita biasanya mampu meningkatkan keterlibatan konsumen, membantu konsumen memahami realitas, dan seringkali mampu menyampaikan ide-ide secara lebih efektif dari sekedar fakta.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)