Harusnya Toko Offline Bisa Bertahan

Light adalah pakar revitalisasi merek global. Dia bersama
Joan Kiddon menulis buku Six Rules for
Revitalization Brand
. Dia juga CEO Arcature (www.arcature.com), sebuah
perusahaan konsultan pemasaran di bisnis barang-barang kemasan, teknologi,
ritel, perhotelan, otomotif, perusahaan dan bisnis-ke-bisnis, serta tidak-
organisasi nirlaba.

Dalam situasi seperti itu, kata Light, Starbucks justru
menjadi merek yang mengubah secangkir kopi menjadi tempat bagi mereka yang
ingin menemukan pengalaman penikmat kopi. Awal Oktober 2017 lalu, Starbucks menutup
Starbucks.com. Starbucks  keluar dari  dunia online dan balik lagi mengandalkan kedai
offlinenya.

Mengapa? Perusahaan mengatakan bahwa untuk menang di dunia
sekarang ini, pengalaman merek adalah penting. Pengalaman merek Starbucks tidak
dapat direplikasi secara online seperti menjual sirup dan kacang rasa. Jika Anda
ingin Starbucks, silakan datang ke toko kami. Seperti yang dinyatakan
perusahaan, "Anda dapat membeli kopi favorit Anda dan barang dagangan
Starbucks di Starbucks lokal Anda."

Pendiri dan chairman Starbucks, Howard Schultz, percaya
bahwa jalan ke depan adalah menjadikan ruang bermerek Anda sebagai "tujuan
pengalaman". CEO Starbucks, Kevin Johnson, berkata, "Untuk bertahan
hidup, pedagang perlu menciptakan pengalaman di dalam toko yang unik dan
mendalam."

Beberapa waktu lalu Amazon membuka toko offline. JD.id juga
membuka gerai offline di Jakarta. Merek tanpa kasir. Itu berarti interaksi
antara pembeli dan merek berkurang karena tidak atau sedikit interaksinya
dengan tenaga penjual. Apakah itu positif?

Bila balik lagi ke tulisan Pin dan Gilmore, fokus pada
pengalaman merek total sebagai tujuan "immersive" secara fisik dan
emosional bukanlah konsep baru. Namun demikian, kini memiliki daya tarik baru
saat orang berusaha menavigasi lingkungan virtual dan digital.

Banyak e-tailer online menawarkan layanan, seperti  Zappos, Lovelyskin.com, dan Amazon. Dalam
konteks interaksi, layanan online memberikan kenyamanan, dan daya tanggap.
Pembeli atau pengguna percaya dan mereka dipercaya.

Namun, pengalaman ini hanya bersifat dua dimensi. Dalam layanan
online, pengguna tidak pernah melihat dengan siapa mereka berhadapan. Mereka
tidak pernah mengtahui apakah warna lipstik benar-benar seperti yang
mereka  lihat di layar. Seseorang membeli
celana jeans melalui online yakin bahwa ukurannya pas. Mereka juga berharap
bahwa kiriman barang yang dibeli tiba pada waktunya.

Menurut Pine dan Gilmore, salah satu prinsip pengalaman
merek yang mendalam adalah melibatkan kelima indera. Pada saat ini (ke depan
bisa jadi realitas virtual dan / atau augmented reality dapat mengubah ini),
pengiriman terhadap indera kelima ini yang tidak bisa – minimal sampai saat ini
-- dideliver secara online. Aroma misalnya, masih belum bisa dikirim melalui
online.

Dalam konteks ini, Starbucks melihatnya sebagai peluang.
Starbucks memilih aroma kopi yang berbeda-beda, interaksi barista, pengakuan,
personalisasi, lingkungan yang santai, desain seperti kafe, musik, dan
kenyamanan berada di antara orang-orang yang berpikiran sama sebagai pembeda
yang relevan dari keranjang belanja online

Starbucks membuat langkah berani dengan menampilkan sesuatu
yang bertentangan dengan apa yang dilakukan bisnis ritel dan restoran.
Sementara yang lain memilih untuk bertarung melawan Amazon dengan opsi,
kecepatan, dan pengiriman online, Starbucks mengatakan, tidak. Starbucks
mempertaruhkan estetika partisipatif dari pengalaman inderanya yang
mengesankan.

Pages: 1 2 3
Tags:
millennial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)