Pelajaran dari P&G Tentang Cara Menurunkan Harga Pantene

price-down
Dua Belas tahun lalu, P&G mengambil langkah tidak biasa. P&G menurunkan harga sampo Pantene secara drastis. Padahal biasanya di sini, setelah sukses penetrasi, perusahaan justru menaikkan harga produk. Apa di balik kebijaksanaan P&G yang tidak populer ini?

Menaikkan harga setelah sukses penetrasi banyak dilakukan merek-merek Indonesia seperti So Klin. Tapi Procter & Gamble (P&G) melakukan sebaliknya. Setelah 12 tahun berada di pasar Indonesia, efektif per Januari 2004 perusahaan ini menurunkan harga sampo Pantene sampai 20% dari Rp 10.400 menjadi Rp 7.900 per botol isi 100 ml atau Rp 18.900 menjadi Rp 15.800 per botol kemasan 200 ml. Para pedagang menyebut penurunan harga yang drastis ini sebagai perubahan harga. Mengapa Pantene mengambil kebijaksanaan yang tidak populer di sini? Dikomunikasikan pula secara gencar lewat iklan di televisi!
Direktur P&G Indonesia (ketika itu) Bambang Sumaryanto didampingi Assistant Brand Manager Market Operations Ryan Tirta memberikan penjelasan panjang lebar tentang permanent price down Pantene ini di kantornya (saat itu) di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Menurut Bambang, penurunan harga Pantene dimaksudkan untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Data AC Nielsen menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga Indonesia memiliki besar pengeluaran yang terbatas. Di 12 kota besar Indonesia, jumlah golongan AB SES—dua kelas sosial dan ekonomi teratas—masih di bawah 30% dari populasi penduduk kota yang bersangkutan. Fakta lain menunjukkan sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah rural (pedesaan) yang biasanya memiliki tingkat pengeluaran rumah tangga yang lebih rendah dari urban area (daerah perkotaan).
Fakta tersebut, kata Bambang, mengindikasikan harga masih menjadi main concern pemilihan produk, terutama produk-produk fast moving consumer goods. “Kita pernah menjumpai konsumen yang membeli Pantene pada saat keadaan keuangannya sedang sangat baik saja. Bila tidak, dia akan menggunakan merek lain yang lebih murah. Kami menyadari bahwa bila kami membuat Pantene lebih affordable (terjangkau), akan banyak orang yang lebih terpuaskan dengan Pantene,” tutur Bambang Sumaryanto.
Sayang, Bambang menolak menjelaskan target peningkatan jumlah konsumen dan pangsa pasar Pantene pasca kebijaksanaan harga ini. “Market share bukan sesuatu yang dikejar. Yang penting bagi kami adalah membuat produk berkualitas lebih affordable bagi masyarakat sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup mereka. Ini sesuai dengan reoson for being P&G,” kilahnya.
Bambang mengatakan bahwa Pantene saat ini menjadi salah satu dari tiga merek sampo paling banyak dipakai di Indonesia. Dia menolak menjelaskan pangsa pasarnya saat ini. Namun dua tahun lalu dia memperkirakan Pantene menguasai sekitar 19,3% pangsa pasar sampo Indonesia, meningkat dari 18% pada tahun sebelumnya. Sementara hasil riset Frontier ketika itu menunjukkan bahwa Pantene menguasai 20,9% pasar sampo di tanah air. Posisi market leader dipegang oleh Sunsilk (produksi PT Unilever) dengan pangsa 37,4% dan posisi kedua diduduki oleh Clear (juga produksi Unilever) dengan pangsa 22,5%. Sisanya dipegang oleh Rejoice (8,3%), Head & Shoulder (2,4%), Emeron (2,2%), Natur (1,2%) dan lain-lain.
Setelah P&G mereposisi brand dengan mengubah konsep varian sampo pada 2001—tadinya berdasarkan jenis rambut menjadi berdasarkan tampilan akhir yang dinginkan (end look concept), menurut Bambang, pertumbuhan sales Pantene meningkat lagi secara signifikan. Dengan penurunan harga ini, Bambang berharap terjadi switching brand ke Pantene. Namun bagi konsumen loyal, katanya, P&G menganggap pemotongan harga ini sebagai ungkapan terima kasih—karena dengan price cut ini, value yang diterima konsumen meningkat.

Fakta Kemasan Sachet
Selain untuk memperluas pasar, sebetulnya ada alasan lain di balik strategi pricing Pantene, yaitu mengubah preferensi pembelian dari sachet ke botol yang dampaknya akan sangat signifikan kepada loyalitas pelanggan dan ekuitas merek Pantene.
Menurut Bambang, faktanya saat ini, tepatnya sejak krisis ekonomi 1998, kontribusi penjualan Pantene dalam kemasan sachet lebih besar ketimbang kemasan botol—Bambang pernah mengatakan kontribusi sachet sampai 70%. Padahal, loyalitas konsumen sachet biasanya lebih rendah dari konsumen botol.
Mengapa konsumen lebih senang membeli sachet ketimbang botol? Ternyata jawaban bukan semata-mata karena daya beli mereka rendah. Tapi justru karena mereka cerdik! Bayangkan, kalau dihitung-hitung, harga sachet jauh lebih murah ketimbang harga botol! Satu sachet Pantene 6 ml harganya Rp 500 sehingga kalau 100 ml (berarti 16,67 sachet) harganya hanya Rp 8.333, jauh lebih murah ketimbang Pantene kemasan botol 100 ml yang harganya Rp 10.400! Jadi, buat apa beli botolan kalau dengan membeli sachet mereka bisa berhemat?
Hal ini rupanya disadari manajemen sehingga akhirnya munculah kebijaksanaan price down ini. Dengan harga Rp 7.900 per botol 100 ml, kini konsumen digiring untuk membeli Pantene kemasan botol ketimbang kemasan sachet.
Upaya menggiring terjadinya consumer switching dari sachet ke botol ini juga masih in line dengan image Pantene sebagai sampo premium—meskipun harganya sekarang sudah jauh menurun, dibandingkan Sunsilk 100 ml yang harganya Rp 5.975, Pantene masih terbilang premium.
Kemasan sachet selama ini image-nya identik dengan kalangan menengah bawah. Sementara harga yang dipatok menunjukkan kelas Pantene sebagai produk premium—pihak P&G sendiri tidak pernah mengklaim Pantene sebagai produk premium. Akibatnya, pengamat pemasaran dari Universitas Bina Nusantara Hadi Setyagraha pernah menilai upaya Pantene menggenjot penjualan sachet sebagai inconsistency market targeting. Kebijaksanaan yang membingungkan (mistargeting) ini kini dikoreksi dengan pricing policy yang mendorong pembelian botol ketimbang sachet.
Bambang menjamin penurunan harga Pantene ini tidak akan mengganggu profitabilitas brand ini atau PT P&G secara keseluruhan. “Perhitungan kami, secara short term tidak ada loss,” Ryan menambahkan. Tapi apakah ada penurunan profit? Tidak ada jawaban spesifik. Tapi Ryan sangat percaya bahwa dalam jangka panjang, kebijaksanaan ini bisa mendorong pertumbuhan brand Pantene.
Bambang mengatakan bahwa kebijaksanaan penurunan harga ini bukan keputusan yang mudah. Angka 20%, katanya, merupakan perhitungan paling optimum. Pada harga tersebut, P&G masih leluasa melakukan program komunikasi. Sementara dampaknya kepada kinerja P&G diperkirakan tidak terlalu signifikan. Apalagi, katanya, secara korporat, P&G terus melakukan restrukturisasi organisasi dan operasi untuk mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi. “Organisasi kami sekarang sangat line. Dalam restrukturisasi ini banyak hal kecil yang disentuh. Tujuannya untuk mengembalikan core P&G pada bidang sales dan marketing. Itu sebabnya produksi untuk kawasan Asia disentralisasi di Thailand—sehingga kemasannya seragam untuk lima negara.” Strategi ini menghasilkan tingkat efisiensi biaya yang signifikan, tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)