Menuju Nation Branding - We Are What We Eat

Beach-Candlelight-Dinner

Hari-hari ini, dunia terlibat dalam persaingan sengit untuk berebut sumber daya, relokasi bisnis, investasi asing, pengunjung dan penduduk. Dalam dunia perdagangan yang semakin liberal, strategi harus berkonsentrasi menghasilkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, Kotler (2002, p.253), menekankan pentingnya suatu negara untuk menciptakan sumber keunggulan bersaing.

Dalam menciptakan keunggulan bersaing tersebut, pola lama mungkin masih diperlukan meski harus direvitalisasi karena bisa jadi yang lama itu menjadi makin kurang efektif di lingkungan yang semakin demokratis seperti sekarang ini. Dengan kata lain, globalisasi telah mengubah permainan, dan maraknya media social membuat permainan itu berubah lagi.

Secara historis, negara-negara yang hanya memperhatikan pasar dalam negeri, terbelenggu oleh keterbatasan pasar, pariwisata, dan ekspor yang hanya mengandalkan produk tradisional untuk pasar tradisional. Di sisi lain, bila mereka ingin masuk ke pasar global, mereka harus memperhatikan keunggulan bersaingnya.

Terkait dengan konsep keunggulan kompetitif bangsa, pakar strategi bersaing, Michael Porter mengatakan bahwa kemakmuran nasional itu dibuat, tidak diwariskan. Lebih jauh dia mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu negara merupakan kapasitas suatu negara untuk menarik perusahaan (baik lokal maupun asing) menggunakan negara tersebut sebagai platform berbisnis.

Menurut Kotler (2002, p.253), banyak alasan yang membuat negara-negara harus mengelola nation brand mereka. dan dengan demikian menarik wisatawan, pabrik, perusahaan.

Kemajuan pesat globalisasi mengharuskan setiap negara, kaya atau miskin, bersaing dengan negara lain berebut pangsa konsumen dunia, wisatawan, investor, mahasiswa, pengusaha, olahraga internasional dan acara budaya, dan perhatian dan rasa hormat media internasional, pemerintah, dan rakyat negara lain (Anholt, 2007), dan orang-orang berbakat serta mencari pasar untuk ekspor mereka.

Disinilah pentingnya konsep nation branding, sebab jika nation brand suatu negara tidak baik, mereka akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar global mereka. Dalam konteks ini, terdapat garis pembeda antara konsep nation branding dan nation brand.

Dimana perbedaannya? Seperti disebutkan, pada dasarnya, sebuah negara memiliki citra merek, baik dengan atau tanpa nation branding. Setiap negara memiliki nama dan image yang unik di dalam pikiran orang di dalam dan luar negeri, sehingga negara tersebut memiliki brand.

Sebuah nation brand adalah keseluruhan persepsi suatu bangsa dalam pikiran para pemangku kepentingan (stakeholder) internasional. Disini bisa saja terkandung beberapa elemen seperti orang, tempat, budaya / bahasa, sejarah, makanan, fashion, wajah-wajah terkenal (selebriti), merek global dan sebagainya.

Dengan demikian, ada atau tanpa upaya sadar berupa nation branding, setiap negara memiliki image di benak pikiran audiens internasional secara atau lemah, jelas atau samar.

Nation branding pada dasarnya merupakan upaya untuk membuat suatu negara menjadi unik dan memastikan image-image unik tersebut menjangkau dan membenam di benak kelompok sasaran. Nation branding melibatkan promosi citra bangsa kepada audiens internasional untuk mendapatkan keuntungan bagi suatu negara baik politik, sosial dan ekonomi dan menciptakan keunggulan kompetitif.

Nation brand berfokus pada penerapan branding dan teknik komunikasi pemasaran untuk mempromosikan citra bangsa. Dengan menggunakan branding, nation brand mengkonfirmasi atau mengubah perilaku, sikap, identitas atau image dari suatu negara dengan cara yang positif.

Namun demikian, nation branding berbeda dengan branding tradisional karena tidak ada produk atau jasa untuk dijual, tidak ada tujuan promosi yang sederhana. Tujuan nation branding adalah membuat orang melihat suatu negara sedikit berbeda dengan negara lainnya (Anholt, 2008).

Nation branding bisa dikatakan tidak hanya memusatkan pada upaya mempromosikan produk tertentu kepada pelanggan. Nation branding memperhatikan keseluruhan image dari suatu negara, termasuk sejarah, politik, ekonomi dan budaya.

Suatu bangsa bukanlah suatu produk konvensional. Nation brand tidak hanya menawarkan produk atau jasa yang tangible, melainkan sesuatu yang mewakili dan mencakup berbagai faktor dan asosiasi, seperti tempat - geografi, tempat wisata; sumber daya alam, produk-produk lokal; orang - ras, kelompok etnis; sejarah; budaya; bahasa; dan sebagainya.

Keith Dinnie, profesor di Temple University, dalam suatu seminar di Yonsei University di Seoul dalam rangka promosi bukunya, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice menyebut Thailand sebagai salah satu contoh negara yang menggunakan masakan untuk meningkatkan kesadaran citra negara mereka dan merek nasional mereka.

Pemerintah Thailand berusaha mempromosikan masakan bangsanya dengan mengumumkan keterlibatannya untuk memastikan bahwa makanan Thailand yang dijual di seluruh dunia adalah asli.

Seharusnya, menurut Handito Hadi Joewono – pemerhati pemasaran dari Arrbey -- makanan semisal yang di Jawa Tengah dan Jogjakarta bisa dijadikan alat untuk membranding kota yang cukup potensial. Namun sayangnya, pengelolaan yang ada selama ini terkesan sangat sporadic dan tidak sistemik.

Dia menyarankan, Pemda Jawa Tengah melakukan inventarisasi brand kuliner yang ada dan kemudian dilakukan rejuvinasi. Penyegaran yang ia maksudkan bukan semata dari makannya, namun juga menyangkut aspek lain. Misalnya desain rumah/restoran, serta simbul-simbul budaya setempat.

Kuliner atau segala sesuatu yang menyangkut dapur dan masakan, menurut Greg Richards, peneliti cultural tourism dari Tilburg University Netherlands, bukan hanya pusat tourist experience, tetapi juga karena keahlian memasak menjadi sumber penting dalam pembentukan identitas, terutama dalam masyarakat postmodern.

Encyclopedia Britannica (2000) mendefinisikan keahlian memasak sebagai: 'seni memilih, menyiapkan, melayani, dan menikmati makanan enak'

Pada 1998 lalu, Donna R. Gabaccia menulis buku dengan judul We are what we eat : ethnic food and the making of Americans. Dalam pandangan Richards, makna makanan bukan sekadar fisik. Makanan juga menyiratkan makna emosional. Ketika seseorang memilih makanan, secara tidak langsung dia mengidentifikasi dirinya dengan sejenis makanan tertentu.

Sebagaimana dikatakan Giddens (1990) dan Bauman (1997), kehidupan modern dicirikan oleh naiknya tingkat ketidak-amanan pribadi dan sosial. Dengan adanya disintegrasi struktur makna yang selama ini dianggap mantap, seseorang akan mencari sumber identitas baru yang menyediakan keamanan.

Mereka menemukan warisan dan nostalgia yang memang menyediakan sumber yang kaya akan tanda-tanda identitas, terutama di sektor pariwisata.

Makanan juga menjadi faktor penting dalam pencarian identitas. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga tidak mengherankan bahwa ini juga menjadi salah satu penanda identitas yang paling luas.

Kita adalah apa yang kita makan (we are what we eat). Rasa dan selera bukan hanya dalam arti fisiologis, tetapi juga dalam psikologis dan sosiologis. Makanan yang biasa dikonsumsi dari masa kanak-kanak menjadi pelindung orang dewasa.

Itu adalah makna kiasan yang menunjukkan bahwa setiap usaha untuk mengubah kebiasaan makan, akan dipandang sebagai sebuah serangan terhadap identitas nasional, regional atau pribadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)