Menyeimbangan Peran Manusia dan Mesin

 

Diam-diam teknologi telah menyabotase keakraban sosial yang banyak berkontribusi bagi kemajuan merek atau perusahaan. Inovasi teknologi dan pemangkasan biaya yang berlangsung tanpa henti kini mendorong pendulum komunikasi kearah ketergantungan perusahaan pada IT secara tidak sehat, mengikis keterlibatan personal, menciptakan jarak, dan merusak keselarasan.

Ambil contoh di bisnis retail misalnya, orang mungkin berpikiran bahwa penggunaan robot tentu akan membuat layanan lebih cepat, akurat dan lebih murah dari pada bila layanan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia. Pertanyaannya adalah apakah investasi untuk layanan robot baik? Kalau tidak apakah hal itu perlu dihindari? Bagaimana bila pesaing Anda berinvestasi dengan layanan robot?

Dalam buku The Empathic Enterprise: Winning By Staying Human in A Digital Age (Merchant Trask Press, Juni 2016) ini, Mark A. Brown mencoba mengingatkan perkembangan teknologi yang makin luar biasa kini. Buku ini juga sekaligus menyediakan peta jalan untuk meninkatkan kemitraan antara manusia dan mesin, menelusuri sejarah, membangun simbiosis dan menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara manusia dan mesin tersebut secara lebih baik.

Menemukan keseimbangan yang tepat antara teknologi informasi dan sentuhan manusia merupakan tantangan yang menarik untuk bisnis dan organisasi di seluruh dunia saat ini. Dulu orang tak pernah membayangkan bahwa begitu banyak orang yang mengalami ketergantungan on-line. Tak pernah terbayangkan betapa banyaknya orang pintar dan banyaknya mesin canggih yang digunakan untuk memanfaatkan pengalaman pelanggan. Inovasi terus-menerus dan berkembangnya selera masyarakat membuat perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengalaman ini secara akurat.

Cara-cara lama tak bisa lagi diandalkan untuk mendapatkan pengalaman tadi. Perusahaan atau merek harus menciptakan sentuhan keseimbangan untuk membangun keterlibatan. Di sisi lain, mempertahankan karyawan, pelanggan, dan stakeholder lainnya juga memerlukan pola pikir baru, pendekatan yang berdasarkan pada penyebaran empati pribadi secara lebih trampil.

Diakui atau tidak, diberdayakan konsumen oleh teknologi digital telah mengubah wajah bisnis internasional. Teknologi mobile yang makin membuat konsumen semakin lincah namun sering berubah-ubah, mendorong dunia menuju ke era ekonomi berbasis permintaan 24 jam sehari tujuh har seminggu. Dunia seakan tiada pernah istirahat. Inovasi dan tekanan biaya membuat solusi bisnis berbasis IT semakin menarik. Namun demikian, banyak ahli menegaskan bahwa sentuhan manusia dan empati masih penting guna mencapai keberhasilan secara komersial yang berkelanjutan. Lalu bagaimana harus menyeimbangkan teknologi dan sentuhan di dunia digital seperti sekarang ini?

Teknologi digital adalah pedang bermata dua yang memfasilitasi transaksi perusahaan dan komunikasi. Ketidakseimbangan perkembangan teknologi dengan konektivitas manusia, dapat mengikis kepercayaan, keterlibatan, dan hubungan yang penting untuk mendapatkan kesuksesan. Dalam konteks ini, setiap perusahaan, besar dan kecil, perlu untuk mengatasi kesenjangan yang diciptakan oleh pelukan semakin kuat dari IT dan kebutuhan eksternal dan internal untuk kontak manusia. Organisasi memang harus memanfaatkan teknologi, namun hal itu harus disertai dengan komitmen strategis untuk tetap memanusiakan manusia pada berbagai tingkat di zaman digital kini.

Lalu bagaimana menemukan keseimbangan antara teknis dan humanis? Dari sudut pandang "Machinist", pecinta teknologi dan orang-orang di departemen IT cenderung mengadopsi teknologi secepatnya. Menurut mereka, penyebaran teknologi membawa banyak manfaat bagi perusahaan. Secara kuantitas, banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui pengembangan ICT. Ini antara lain, ICT bisa mengurangi kesalahan, mengurangi biaya - termasuk biaya tenaga kerja, rantai pasokan yang lebih efisien, menghubungkan tim virtual dan pekerja jarak jauh, kecepatan dan efisiensi untuk layanan pesanan pelanggan, dan berjalan sesuai dengan prosedur.

Sementara itu dari sudut pandang humanis, mereka berpendapat bahwa menjadi terhubung tidak menjamin sebuah hubungan. Mengotomatisasi perintah dan pelacakan tidak selalu bisa diterjemahkan dengan hubungan yang didasarkan pada kepercayaan. Bahkan, call center otomatis dan portal web telah benar-benar membuat orang-orang terjebak dalam dimensi angka, sering terjebak dalam lingkaran menekan tombol yang tidak pernah memberikan jawaban, atau keterlibatan yang orang butuhkan.

Disini Mark Brown menawarkan beberapa kutipan brilian tentang mengapa dua sudut pandang itu bisa dipadukan. Di bagian kedua buku ini, Brown berfokus pada pengembangan sebuah kerangka untuk menjadi perusahaan yang empatik. Tapi Anda jangan berharao menemukan sebuah cetak biru. Untuk mengarahkan panduannya, Brown mengajukan serangkaian pertanyaan yang dirancang untuk membantu manajer mengembangkan perpaduan humanisme digital, semisal, bagaimana manajer merasa perlu berpikir tentang tantangan ini? Dari mana Anda memulai dan sebagainya.

Disinilah kekuatan buku ini. The Empathic Enterprise tidak memberikan memberikan jawaban dalam bentuk formula. Sebaliknya, nilai buku ini terletak pada kemampuan penulis memfokuskan pada perjalanan, dan bagaimana untuk melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam proses pengelolaan perusahaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)