Premiumisasi

motor-yacht-power-boat-luxury-lifestyle

Lima belas tahun lalu, pesawat terbang merupakan sesuatu yang dianggap disediakan untuk kelas atas. Sepuluh tahun lalu, kalau Anda memegang kartu kredit emas, itu berarti pengakuan bahwa dalam kehidupan sosial Anda dianggap termasuk kelas atas. Namun kini – karena tarifnya yang relatif murah -- pesawat dianggap sebagai moda transportasi jarak jauh pesaing kereta api. Pemegang kartu kredit gold juga semakin banyak sehingga tidak memberikan elitisme bagi sang pemegang.

Banyak fenomena pergeseran terjadi yang mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Dulu misalnya, raja atau elit kerajaan lainnya, menggunakan pemandian atau kolam atau taman indah untuk mengentertain teman dan sekutunya, sementara kalangan yang termasuk dalam sebutan rakyat harus berbaris menunggu giliran mandi di kolam umum. Kini, semakin banyak anggota masyarakat yang memiliki kolam dan mandipun tidak harus antri.

Sampai tahun 1970-an, mobil merupakan produk yang hanya dimiliki para elit sosial. Kini, barang yang dulu termasuk dalam kategori luxury itu, banyak dijumpai di jalanan dan dari tahun ke tahun pertambahannya luar biasa sehingga melebihi kecepatan pertambahan jalan yang mereka gunakan.

Pergeseran pola “penguasaan” dan konsumsi ini sebut saja sebagai fenomena demokratisasi kemewahan (democratization of luxury). Ini karena baik karena naiknya kemampuan masyarakat untuk mendapatkan produk tersebut, dari produsen pun atau penyedia jasa layanan tersebut berusaha untuk membuat jasanya terjangkau. Karena, produk yang dulunya hanya mimpi bagai sebagaian anggota masyarakat, kini merekabisa menikmatinya. Penggunanya menjadi semakin banyak. Ini salah satu yang memebdakan dengan luxury dalam konteks tradisional.

Secara tradisional, luxury diasosiasikan dengan produk atau jasa yang sulit dijangkau oleh sebagian besar orang sehingga hanya golongan atas atau sebagian kecil anggota masyarakat yang mengkonsumsinya, dikonsumsi secara eksklusif, dan disediakan secara terbatas.

Dengan kata lain, luxuri identik dengan harga mahal, status, fashion dan kenyamanan yang tinggi sehingga hanya konsumen tertentu yang menikmatinya. Seringkali luxury juga diasosiakan dengan prestigious dimana emosi konsumennya saat menggunakan atau mengkonsumsinya mendapatkan apa yang disebut para pakar perilaku konsumen sebagai ostentatious effect (efek pamer untuk membedakannya dengan yang yang lain).

Namun, perkembangan ekonomi dan sosial telah mengubah konsep luxury ini secara dramatis sehingga melintasi waktu dan budaya. Ini ditandai dengan munculnya bentuk luxury baru (new luxury) atau produk atau jasa yang memiliki kualitas, taste dan aspirasi yang lebih tinggi ketimbang produk atau jasa yang lain dalam kategori yang sama tetapi harganya tidak begitu mahal dan terjangkau. New luxury merupakan produk atau jasa yang menawarkan fungsi dan benefit yang sama tetapi ditargetkan untuk pasar massal atau semi massal.

Dengan kata lain, saat ini terjadi premiumisasi. Artinya, saat ini banyak produsen yang secara sengaja mendesain mereknya untuk dipersepsikan sebagai merk yang yang memiliki kualitas, taste dan aspirasi lebih tinggi dengan harga yang terjangkau. Produk ini ditargetkan pada konsumen yang memiliki basis pasar yang jauh lebih besar ketimbang produk yang secara tradisonal masuk dalam kategori old luxury.

Kelompok konsumen ini adalah mereka yang memiliki pendapatan riilnya meningkat. Mereka ini biasanya, secara ekonomi dan sosial, berada di kelas menengah atas yang cenderung memiliki selera lebih tinggi, menghargai kualitas, dan aspirational.

Selain itu, seperti ditulis Michael J Silverstein dan Neil Fiske di Harvard Business Review (April 2003), kelahiran produk new luxury ini juga didrive oleh makin tingginya kelompok masyarakat yang memiliki rumah atau telah memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Dengan demikian, semakin banyak pendapatan yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang relatif ”kurang penting” lainnya, dan semakin banyaknya perempuan yang bekerja serta semakin banyaknya anggota masyarakat yang menunda perkawinannya.

Semakin banyak perempuan yang bekerja berarti semakin banyak perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri sehingga semakin banyak pula kelompok masyarakat yang berusaha mengaktualisasikan dirinya dengan membeli produk yang bisa memenuhi aspirasinya. Demikian pula dengan semakin banyaknya kelompok masyarakat yang menunda perkawinan. Ini berarti semakin banyak kelompok usia kawin berpenghasilan yang memiliki lebih banyak waktu dan uang dihabiskan untuk produk atau jasa yang bisa memenuhi kebutuhannya akan image dan petualangan.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)