2019, Indonesia The Whole New World

Kenormalan baru sudah lamat-lamat menampakkan bentuknya dan setiap pelaku bisnis harus mulai jeli memasang insting bisnisnya agar bisa “menyalip” pemain lain di tengah kenormalan baru yang bakal lahir.

Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, bahkan cenderung turun, tak pernah beranjak dari 5%. Dan tahun ini pengamat pemasaran dari Inventure Yuswohady meyakini perekonomian akan menemukan “kenormalan baru” karena digitaleconomy dan leisure economy, dua perubahan besar yang sangat mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, telah menemukan critical mass-nya sehingga akan menghasilkan “the whole new world” dengan jutaan peluang pasar dan bisnis baru.

Kenormalan baru sudah lamat-lamat menampakkan bentuknya dan setiap pelaku bisnis harus mulai jeli memasang insting bisnisnya agar bisa “menyalip” pemain lain di tengah kenormalan baru yang bakal lahir,” tutur Siwo, demikian Yuswohady biasa disapa.

Dalam kenormalan baru ini, menurut Siwo, pertumbuhan akan flat cenderung turun sebagai akibat munculnya ekonomi baru yang disebut “more-for-less economy.” Konsumen menuntut produk layanan yang more-for-less, maka pemain yang kompatibel dan survive di era kenormalan baru ini adalah mereka yang mampu menghasilkan produk/layanan yang more-for-less.

Untuk mewujudkannya, lanjut Siwo, setiap pemain harus kompatibel dengan new rules of the game yang disebut Asset-Light-Model. Dengan menggunakan teknologi digital, pemain harus menggunakan aset sesedikit mungkin untuk menghasilkan output setinggi mungkin. “Istilah kerennya, Uber of Everything. Jadi meng-uber-kan semua bisnis dan industri,” katanya.

Fenomena kenormalan baru ini, menurut Siwo, tidak hanya terjadi di Indonesia. “Ekonomi dunia mengalami hal serupa karena more-for-less economy kini sedang massif menyapu seluruh negara di dunia,” ujarnya.

Namun khusus di Indonesia, katanya, dalam studi bertajuk “Riding The New Normal” Siwo menyebutkan dua driverutama perubahan itu, yaitu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) versus China di tingkat global, dan dinamika politik alias “Pemilu Effect” di tingkat lokal.

AS dan China adalah mitra dagang utama Indonesia, dimana ekspor Indonesia ke AS menempati urutan kedua terbesar dari total ekspor Indonesia. Sementara untuk China, ekspor Indonesia ke China mencapai hampir 15% dari total ekspor. Bagaimana jika perang dagang keduanya terus berlanjut? Menurut Siwo, studi Bank Mandiri menunjukkan bahwa pelambatan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% akan berdampak kepada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,09%. “Pelambatan ekonomi di kedua negara tersebut—akibat perang dagang—menyebabkan tekanan terhadap rupiah,” ia menjelaskan.

Sebagai tahun politik, Siwo memprediksi pada 2019 para pelaku bisnis akan “Wait & See”. Ada dua momen politik yang mereka tunggu, yaitu April pada saat Presiden baru terpilih, dan Oktober pada saat Kabinet baru terbentuk.

Ia memperkirakan jika Jokowi-Amin terpilih, maka kondisinya akan cenderung adem-ayem karena Jokowi pasti melanjutkan kebijakan-kebijakan sebelumnya tanpa ada perubahan drastis dan uncertain. Pelaku bisnis juga bisa menebak bagaimana format kabinet dan arah kebijakannya. Namun bila Prabowo-Sandi yang terpilih, maka pelaku bisnis akan menduga-duga arah kebijakan ekonomi-bisnis pemerintahan baru. “Prabowo bisa mengambil posisi detrimental, yakni mencari simpati dengan membalik arah semua kebijakan pemerintah sebelumnya,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)