Ingat Madonna? Dia sebuah brand yang demikian powerful sehingga bisa bertahan sebagai merek global selama seperempat abad, bernilai milyaran dollar, dan memiliki jutaan loyalis. Tidak cuma itu, dia bahkan diabadikan sebagai nama latin untuk sebuah spesies beruang, dan menjadi sub-field tersendiri untuk kajian media. Bagaimana Madonna mengelolanya?
Zootaxa, jurnal taksonomi fauna internasional dalam edisi Maret 2006, mempublikasikan nama ilmiah baru bagi seekor beruang air dengan nama jenis Echiniscus madonnae. “We take great pleasure in dedicating this species to one of the most significant artists of our times, Madonna Louis Veronica Ritchie” (Zootaxa, Vol. 1154, pages 1-36), demikian yang tertulis di jurnal ilmiah tersebut.
Tidak ada keterangan yang jelas mengapa Madonna yang dipilih sebagai bagian dari lestarinya makhluk yang termasuk langka itu, tapi Madonna—yang tahun ini menginjak usia setengah abad, dianggap mewakili sosok yang everlasting, dan ikonik.
Perjalanan ikon ini dimulai pada 1982, tepatnya pada 24 April 1982, dengan merilis single “Everybody” dibawah Sire Records, sebuah label yang dimiliki Warner Bros. Records. Atribut brand Madonna saat itu—baju atasan renda, rok di atas celana capri, stoking jala (yang kadang sengaja dirobek), dan perhiasan salib, serta rambut yang di-bleach—menjadi trend fashion perempuan pada dekade 1980-an.
Namun, publik umumnya menganggap the birth of Madonna dimulai dengan lagu “Like A Virgin” pada 1985. “In 1985, Madonna's navel ruled the world,” kata Rashmi Bansal, Editor majalah JAM—Just Another Magazine, sebuah majalah remaja berpengaruh di India. Album kedua wanita keturunan Italia ini menjadi album nomer satu di Amerika, dan bertahan selama 6 minggu di puncak chart (tangga lagu)—dengan penjualan 12 juta di seluruh dunia dan termasuk dalam Definitive 200 Albums of All Time versi Nasional Association of Recording Merchandisers dan Rock and Roll Hall of Fame.
Padahal dekade itu, Madonna tidak muncul sendirian. Era 80-an merupakan masa penetrasi pasar penyanyi-penyanyi perempuan yang menawarkan produk musik dengan tunes yang catchy seperti Cyndi Lauper, Belinda Carlisle, dan Paula Abdul. “Madonna has something more, she had attitude,” kata Rashmi, tentang bagaimana Madonna bisa menjadi nomer satu pada era itu, bahkan sampai sekarang.
Attitude itu, meski oleh beberapa kalangan disebut sebagai kontroversial, mau tak mau menjaga efek WOM (word of mouth) bagi “Queen of Pop” ini. Contohnya saja ketika penampilannya yang mengeksplorasi simbol-simbol relijius dan seksualitas menuai kritik dari Vatikan pada akhir 1980-an.
Atau ketika ia mengambil tindakan hukum kepada majalah Playboy dan Penthouse karena mempublikasikan sejumlah foto hitam putih tanpa busana yang diambil pada penghujung 1970-an. Kehidupan pribadinya dan pernikahannya kelak juga mempertahankan image-nya sebagai sosok yang senantiasa menuai kontroversi.
Di balik itu, Madonna tampaknya paham benar bagaimana menjaga perceived quality dari brand-nya. Apalagi kompetisi sedemikian ketat yang memunculkan produk-produk berbakat seperti Debbie Gibson, sampai Sinead O'Connor mendekati 1990-an. Namun, Madonna termasuk cerdik. Ia memilih untuk menjadi berbeda, dan melakukan segalanya dengan caranya sendiri. “Madonna was no musical genius, but one thing you could not accuse her of being wa a 'Me-Too'”, lanjut Rashmi.
Oleh karena itu, tidak seperti rekan-rekan seangkatannya, brand Madonna bisa dengan leluasa melakukan ekstensifikasi sampai menjadi seorang aktris film, dan karena ia juga seorang penyanyi, menyanyikan juga soundtrack untuk film yang dibintanginya. Masih pada 1985, Madonna tampil sekilas dalam “Vision Quest”, namun single “Crazy for You” dari film tersebut, malah menjadi US No.1 single pada masa itu.
Strategi yang sama, ia terapkan pada film “Desperately Seeking Susan” yang single “Into the Groove”-nya merajai tangga lagu di Inggris pada tahun yang sama, dan kelak sampai pada film Evita (1997)--yang menghasilkan Golden Globe Awards untuk kategori “Best Actress” untuknya.
Sejak tahun itu, Madonna terus me-maintain brand extension-nya sebagai seorang aktris. Ia tidak hanya seorang penyanyi, tapi juga pemain film—dan kelak penulis buku, sehingga publik mengkategorikannya sebagai “entertainer”. Namun, perjuangan mereknya untuk memperoleh gelar “berkualitas”--selain dari royalty yang diperoleh dari penjualan album dan filmnya—baru berhasil menjelang tahun 2000-an.
Adalah album “Ray of Light” yang pada 1999, meraih gelar Grammy Award untuk kategori “Best Pop Vocal Album” dan “Best Dance Recording”. Sebelum era millenium, rekognisi kualitas untuk Madonna umumnya hanya seputar pada video musiknya, seperti pada 1987 di ajang MTV Video Music Awards, wanita ini meraih Best Female Video untuk “Papa Don't Preach”.
Album ke-7 Madonna, Ray of Light (1998), bisa disebut sebagai upaya brand Madonna untuk merejuvenasi diri. Melalui album ini, ia muncul dengan pencitraan baru yang jauh dari kesan material girl yang selama bertahun-tahun menjadi stereotype-nya. Tahun itu, Madonna meng-influence dunia dengan trend dan atribut baru: tato hena dan segala yang bertendensi dengan spiritualitas ketimuran.
Hal ini tampak misalnya pada video “Frozen” yang menampilkan Madonna sebagai sosok yang sama sekali lain. “The video transformed her public image. After the modern pop of Bedtime Stories, and the lets-go-clubbing sexuality of Erotica, Frozen ushered in a new era of the spiritual Madonna--not to mention the henna craze it jump-started,” demikian dari www.director-file.com. Bahkan video “Ray of Light” digunakan oleh Microsoft untuk memperkenalkan Windows XP.
Tahun-tahun berikutnya, Madonna harus menghadapi kompetisi yang demikian ketat dengan penyanyi wanita seperti Britney Spears, Christina Aguilera, sampai Mariah Carey. Madonna kembali melakukan rejuvenasi yang banyak ditentang kritikus. “A musician, after all is the brand. And this brand - in her quest for eternal youth -has abandoned her core customers. The fans who grew up on her music and are not getting any younger themselves.” tulis Rashmi Bansal dalam “Madonna, A Fading Brand?”.
Dalam album terbarunya, Hard Candy (2008), Madonna mengubah strategi dengan berkolaborasi dengan musisi muda seperti Justin Timberlake, Pharrel Williams, Timbaland, dan Kanye West, nama-nama yang sudah bekerjasama dengan artis-artis seperti Nelly Furtado, Ashley Simpson, dan the Pussycat Dolls. “All all of whom owe more than a little to Madonna,” kata John Farelles, sebagaimana dikutip dari www.nytimes.com.
Meski demikian, Madonna tetap sebuah giant brand yang tetap dipercaya oleh global brand sebagai endorser. Sunsilk, menggunakan Madonna dalam kampanye iklan bertemakan “Life Can't Wait”. Konon untuk iklan ini, Madonnna dibayar seharga US$ 10 juta. Tampaknya, rejuvenasi Madonna bertepatan dengan revitalisasi yang dilakukan Sunsilk.
David Rubin, Director of U.S. Hair-Care Operations, Unilever, mengatakan bahwa Madonna tengah melanjutkan untuk menjadi inspirasi bagi para gadis muda untuk menemukan kembali penampilan mereka. “We expect the new commercial will also encourage girls to evolve by changing their looks and making their hair and lives happen in a variety of exciting ways." kata Rubin, seperti yang dikutip dari www.adage.com.