Hari-hari ini publik bisa menyaksikan bahwa julah perguruan tinggi secara kuantitas naik. Pada tahun 2005 jumlah perguruan tinggi di Indonesia masih 2.428 buah. Namun sepuluh tahun kemudian naik berlipat. Data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi 7 Juni 2015 lalu menunjukkan jumlah PT di Indonesia sudah mencapai 4.273 buah. Pertumbuhan ini sangat fantastis, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir setiap dua hari bertambah satu perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa persaingan di antara perguruan untuk berebut mahasiswa meningkat.
Pertanyaan adalah soal pemerataan dan kualitas. Dari sisi kualitas, berdasarkan data dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI), dalam satu kopertis dengan sekitar 340 PTS, ternyata hanya 20,83 persen sehat murni, 2,38 sehat, dan 4,17 persen hampir sehat, dan 64,88 persen belum sehat alias sakit. Ini menunjukkan bahwa sejatinya masih ada peuang bagi perguruan tinggi untuk mengambil pasar.
Menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014, jumlah pemuda di Indonesia sebanyak 61,83 juta jiwa atau sekitar 24,53 persen dari 252,04 juta jiwa penduduk Indonesia. Menurut Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang dimaksud dengan pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16-30 tahun. Pemuda mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia di bawah 16 tahun (76,68 juta) dan penduduk di atas 30 tahun (113,52 juta).
Pemuda Indonesia yang tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf sebesar 0,64 persen. Angka buta huruf pemuda di perdesaan sebesar 1,26 persen lebih tinggi dibanding di perkotaan yang sebesar 0,10 persen. Rata-rata lama sekolah yang berhasil dicapai para pemuda secara keseluruhan adalah 10,01 tahun atau secara umum pemuda telah dapat menyelesaikan pendidikan hingga kelas 1 Sekolah Menengah (SM). Sebesar 43,78 persen pemuda di Indonesia berpendidikan SM ke atas, 31,99 persen tamat SMP/sederajat, 18,51 persen tamat SD/sederajat dan 4,67 persen tidak/belum tamat SD. Gambaran ini menunjukkan masih besarnya potensi calon mahasiswa di pedesaan, apalagi ada kecenderungan terjadi peningkatan ekonomi di daerah-daerah.
Survei yang dilakukan Majalah Mix 2015 lalu menunjukkan bahwa saat ini makin banyak pendidikan tinggi ayng menerapkan strategi branding untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap merek perguruan tinggi bersangkutan. Ada beberapa perguruan tinggi yang meng-hire profesional pemasaran eksternal atau perusahaan dan menginvestasikan waktu dan dana untuk membangun merek yang kuat.
Beberapa lembaga pendidikan tinggi mengembangkan desain mobile untuk website mereka. Ini sangat menarik sebab pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta pengguna. 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif. WeAreSocial dalam laporannya bertajuk Digital, Social, and Mobile Report in 2016, memaparkan jika 90 persen netizen Tanah Air aktif di jejaring sosial. Dengan penetrasi mencapai 30 persen dari total populasi, pengguna media sosial di Indonesia pun kini sudah sebanyak 79 juta orang.
Dari segi pertumbuhan, bertambahnya pengguna internet selaras dengan active user di medsos. Dibanding tahun lalu, masyarakat yang memainkan Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan lain-lain sudah bertambah 10 persen. Menariknya, masyarakat Indonesia malah tidak semakin kecanduan dalam menggunakan media sosial. Masih menurut data dari WeAreSocial, rata-rata orang Indonesia 'cuma' menghabiskan 2 jam 51 menit untuk mengakses medsos per harinya lewat pelbagai perangkat. Rerata itu malah menurun dari durasi penggunaan medsos tahun lalu di Indonesia yang selama 2 jam 52 menit.
Disinilah pentingnya perguruan tinggi untuk melakukan tindakan disruptive. Betapa tidak, hari-hari ini beberapa perguruan tinggi dan universitas sudah mengandalkan analisis data untuk menentukan siapa, bagaimana, dan di mana mereka mencapai khalayak mereka. Penggunaan perangkat lunak analisis meningkat sebagai pendidikan tinggi ekosistem online menjadi semakin kompleks. Mendapatkan lebih baik menangani data ini merupakan daerah baru konsentrasi untuk perguruan tinggi dan universitas.
Yang paling menarik adalah beberapa lembaga pendidikan tinggi kini mulai lebih mengandalkan otomatisasi pemasaran untuk membangun dan memelihara hubungan yang berarti dengan siswa. Melalui otomatisasi pemasaran, lembaga yang mampu menangkap dan memanfaatkan berbagai data siswa dalam rangka untuk mengembangkan lebih personal, pesan multichannel dan komunikasi pemasaran.
Disinilah pentingnya lembaga tinggi mulai menerapkan model pemasaran baru. Dulu misalnya untuk membeli gadget terbaru, orang mencari informasi dengan bertanya ke teman, atau harus beli majalah, untuk melihat harga dan membandingkan review-nya. Lalu dilanjutkan dengan ke pusat elektronik, membandingkan harga dari beberapa toko. Begitu juga ketika akan membeli produk lainnya misalnya asuransi,mobil dll.
Tapi saat ini informasi tentang produk, harga bahkan review dengan mudah didapatkan di internet. Ketika saya akan beli produk baik itu di toko atau berbelanja via online. “Saya punya informasi yang sangat lengkap.” Proses pencarian informasi melalui internet, sebelum akhirnya akan melakukan pembelian, disebut sebagai Zero Moment of Truth (ZMOT).
Konsep ini diperkenalkan pada bulan November 2011, oleh Jim Lecinski dari Google dengan menerbitkan tulisannyayang berjudul ZMOT: Winning Moment of Truth Nol. Tulisan tersebut merupakan hasil studi yang memperkenalkan pemasar pada paradigma mental yang baru yang diadopsi pembeli karena evolusi dari aksesibilitas informasi. Pada 2011 Google melakukan riset kepada lebih dari 5.000 responden untuk mengukur seberapa besar pengaruh ZMOT terhadap konsumen. Dan hasilnya, secara keseluruhan ternyata ZMOT menjadi proses paling berpengaruh dalam (sebelum) proses pembelian produk. Sekitar 84% responden mengatakan melakukan ZMOT sebelum membeli produk.
Fenomena itu merupakan perubahan yang luar biasa. Sebab selama ini, dunia pemasaran mengenal tiga langkah dalam siklus pembelian. Langkah pertama adalah rangsangan (stimulus). Disini pemasar menggunakan iklan di majalah, surat kabar, billboard, televisi, untuk merangsang kesadaran konsumen terhadap produk dan layanan. Bagi produsen consumer goods, langkah kedua adalah Shelf. Ilustrasi dari produsen membuat konsumen masuk ke toko, melihat-lihat semua pilihan dan membuat keputusan untuk membeli satu produk. Pada tahun 2005, Procter & Gamble menyebut saat kritis pengambilan keputusan pembelian di rak peritel ini sebagai "the First Moment of Truth. Orang lain sudah melakukan. Bagaimana dengan Anda?