Perlukah Brand Bereaksi Akibat "Ulah" Brand Ambassador?

Cuitan komedian Ernest Prakasa di akun resmi twitter-nya, dinilai telah menghina ulama Zakir Naik. Ulama asal India itu beberapa hari lalu diketahui telah berkunjung ke Indonesia dalam rangka kegiatan "Zakir Naik Visit Indonesia 2017" yang akan berlangsung April ini. Kedatangannya disambut hangat oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla di kediaman resminya di Jakarta.

Sayangnya, pertemuan kedua tokoh tersebut justru direspon Ernest dengan cuitan yang tercatat sensitif. "JK dgn hangat menyambut Zakir Naik. Org yg terang2an mendanai ISIS. Sulit Dipahami," demikian cuitan sang pemeran film Cek Toko Sebelah itu lewat akun twitternya @ernestprakasa pada 5 Maret lalu.

Akibatnya, bukan hanya Ernest yang menuai kecaman dari netizen. Namun brand yang di-endorse-nya, Tolak Angin, turut kena getahnya. Meski ia sudah menghapus postingan tersebut dan menyadari kesalahan sekaligus meminta maaf, namun viral dengan hastag #BoikotTolakAngin sudah kadung tersebar di social media, termasuk di twittet dan facebook.

"Saya Konsumen berat @Tolak_Angin tapi skrg pindah ke merek lain dulu ah #BoikotTolakAngin," demikian cuitan akun @AbuZaffar15.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan Tolak Angin menyikapi hal itu? Menurut Dosen Komunikasi Universitas Indonesia yang juga pakar komunikasi dan periklanan Djito Kasilo, apa yang dialami Tolak Angin akibat "ulah" salah satu brand ambassador-nya tidak perlu direspon secara berlebihan atau ditakuti. "Ada tiga alasan mengapa Tolak Angin tak perlu bereaksi berlebihan atau lebih baik diam saja," katanya beralasan.

Pertama, kasus seperti itu hanya akan berlangsung sesaat layaknya kasus Sari Roti atau Lion Air yang pernah mengalami hujatan. Kedua, produk jamu atau obat seperti Tolak Angin memiliki loyalitas yang tinggi atau tingkat konsumsinya berdasarkan kecocokan atau sugesti, sehingga akan sulit bagi seseorang untuk berpindah ke merek lain. "Meski demikian, potensi untuk brand switching akibat kasus ini pasti ada," lanjutnya.

Ketiga adalah karakter konsumen Indonesia yang mudah lupa dan pemaaf. "Maka, prediksi saya, paling lama kasus ini hanya akan bertahan dalam kurun sebulan. Begitu ada kasus lain yang lebih menyedot perhatian, maka kasus ini akan terlupakan," yakin Djito, yang mengatakan bahwa brand sebenarnya dapat memanfaatkan kasus tersebut sebagai kreatif konten komunikasinya guna menetralisir isu.

Namun, Djito mengingatkan, bahwa ada baiknya seorang brand ambassador juga berhati-hati dalam sikap maupun perilaku mereka. Termasuk, memposting isu di akun media sosial mereka. "Posting yang sifatnya SARA akan sangat berbahaya, terutama agama dan ras. Terlebih, saat ini kedua isu itu sangat sensitif. Dan, target market Tolak Angin yang menyasar kelas menengah bawah adalah segmen yang sangat mudah terpengaruh dengan isu SARA," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Djito, tak ada salahnya jika ke depan, para pengelola brand mencermati akun resmi media sosial sang brand ambassador. Sebab, setiap posting mereka juga dapat berdampak pada reputasi brand yang di-endorse. "Untuk itu, meski tak harus melakukan pencopotan Ernest sebagai brand ambassador Tolak Angin, namun secara internal baik pengelola brand maupun Ernest dapat duduk bersama dan saling mengingatkan agar hal serupa tidak terjadi lagi ke depannya," tutup Djito.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)