Waspada Bubble Industri E-Commerce

Gartner’s Hype Cycle-1

Perusahaan riset TNS memperingatkan industri e-commerce Indonesia agar mewaspadai bubble economy. “Karena tanda-tandanya sudah ada,” kata Mahesh Agarwal, Executive Director TNS Indonesia pada konferensi bertajuk “D3 2016: Delivering Impact in a Connected World” yang diselenggarakan oleh TNS di Jakarta belum lama ini. Mahesh tidak secara spesifik menunjukkan tanda-tanda yang dimaksudnya. Namun dia menunjukkan grafik hype cycle investai di industri e-commerce.

Menurut catatan MIX, indikasi bubble itu ditunjukkan antara lain oleh investasi besar-besaran di bisnis ini, tanpa kepastian kapan perusahaan mencapai bottom line. Para venture capital menanamkan investasi untuk mendapatkan gain dari hasil penjualan saham dalam jangka pendek. Lazada, misalnya, pada usianya keempat tahun, meski belum menguntungkan, telah dijual ke Alibaba senilai US$500juta—Alibaba membeli Lazada untuk menantang musuh bebuyutannya JD ID yang sudah lebih dulu masuk ke Indonesia.

Sementara itu, Zalora pada periode 2013-2015 dikabarkan masih merugi sebesar US$ 259 juta (gross). E-commerce lain kondisinya tidak jauh berbeda. Ojek online—yang bisa dipesan dengan aplikasi—semacam Go-Jek, misalnya, sampai akhir tahun lalu juga masih merugi. Manajemennya mengaku terus terang kepada para pengemudinya yang disebarkan via pesan singkat ke seluruh pengemudi.

"Sejak sebelum Agustus, manajemen telah mengeluarkan dana untuk promosi agar order yang didapat driver meningkat. Sejak saat itu sampai saat ini, manajemen tetap beroperasi dengan merugi demi kesejahteraan rekan-rekan driver," kata manajemen Go-Jek seperti dikutip Kompas.com pada Senin (2/11/2015). Bisnis Go-Jek masih ditopang oleh Venture Capital Northstar yang masuk melalui NSI Ventures yang mengkhususkan diri pada bisnis teknologi dan startup dengan modal awal US$ 50 juta.

Sejumlah Pemimpin Redaksi media bisnis dalam percakapan informal dengan MIX belum lama ini mengkhawatirkan kondisi bubble ini akan “meledak” dan menyebabkan efek berantai mengingat industri ini telah melibatkan banyak pemangku kepentingan. “Kondisi ini seperti yang terjadi pada awal dekade 2000, ketika zaman Astaga.com, di mana kemudian banyak yang portal semacam ini tutup,” kata seorang Pimpinan Redaksi media bisnis terkemuka di Indonesia.

Teddy Arifianto, Head of Corporate Communications & Public Affairs PT Jingdong Indonesia Pertama, pemilik brand online retail JD.ID, mengakui bahwa saat ini industri e-commerce memang belum memasuki tahap “harvesting,” melainkan masih berada pada tahap “blooming” (bermekaran). Namun demikian, dia optimistis industri ini akan sustain karena, katanya, bisnis ini sudah terbukti bukan sekadar tren belaka.

“Terlihat dari semakin banyaknya pemain yang berkiprah di sektor ini mulai dari pemain multinasional dan global seperti JD.com melalui JD.ID, atau pesaingnya Alibaba dan bahkan Amazon yang juga dikabarkan akan segera melebarkan sayapnya di Indonesia, hingga para pemain lokal dengan segala bentuk dan model bisnisnya,” tutur Teddy dalam jawaban tertulisnya kepada MIX. Dia optimistis e-commerce akan menjadi platform baru untuk dunia retail yang akan mengubah industri retail di Indonesia, bahkan di dunia.

Bayu Syerli Rachmat, Head of Marketing BukaLapak, menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir pertumbuhan bisnis e-commerce Indonesia memang bersifat eksponensial. Dan potensinya untuk terus tumbuh masih sangat tinggi. “Google & Temasek pernah melakukan kajian khusus perihal ini, bahwa market size industri diprediksi ada di angka US$1,7 miliar pada 2015 dan akan tumbuh menjadi US$46 miliar pada 2025,” ujarnya.

Namun demikian, Bayu mengakui bahwa e-commerce Indonesia saat ini masih dalam tahap membangun “path to profitability.” Namun demikian, katanya, masih diperlukan upaya untuk memperbesar skala pasar, dimana investasi masih diperlukan untuk melakukan penetrasi lebih luas.

 

Gartner's Hype Cycle
Dalam seminar yang digelar TNS tersebut, Mahesh Agarwal menunjukkan siklus Gartner Hype di mana posisi industri e-commerce Indonesia saat ini sudah berada di punggung kurva sigmoid, dan hampir mencapai posisi peak of inflated expectations, situasi di mana industri ini akan segera menunjukkan penurunan hype. Saat ini, katanya, mass media memang masih hype, supplier ecommerce bermunculan, dan akan lebih banyak lagi Digital Users—bukan sekadar Early Adopters—yang melakukan transaksi e-commerce. “Today’s e-commerce buyers are the Early Adopters, more evolved digital users,” tutur Mahesh Agarwal.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)