Komunikasi di Era "More with Less"

Janoe Arijanto, Chief Operating Officer Dentsu Strat

Ada logika umum yang diterima bahwa secara natural pasar akan menemukan masa equilibrium barunya setelah hantaman disruption bertubi-tubi. Pola ini terjadi berulang kali, dan disebut sebagai pertanda pergantian wajah generasi. Namun, ekonomi digital yang bergerak sangat acak dan cepat dalam dua dekade ini seperti sebuah dynamicplatform yang terus tumbuh, seolah-olah selalu dalam status beta.

Kalau pun ada yang menyebutnya kita sedang berada dalam"kenormalan baru", maka kenormalan baru itu kemungkinan akan tidak berumur panjang. Kenapa? Karena penggerak perubahan tidak berproses secara vertikal dan top-down. Sebaliknya, justru partisipatif dan horizontal. Di pola perubahan yang berlangsung horizontal ini, disruption bukan hanya bersumber dari satu disiplin, teknologi saja, tapi juga bisa dari berbagai macam elemen, termasuk dari elemen sosial politik.

Siapa pernah mengira bahwa di tengah-tengah kemudahan untuk menjadi konsumtif, tumbuh satu sikap-sikap baru yang justru respek terhadap kesederhanaan, yang dikenal dengan minimalism lifestyle, yakni faham yang menolak pada pembelian berlebih dan pengoleksian barang tanpa guna. Mereka kelompok yang sangat berorientasi pada basic function dan menghargai kepraktisan. Eksperimentasi-eksperimentasi sosial ini terjadi secara pararel dengan kemajuan di teknologi digital.

Di sudut lain, di tengah-tengah euphoria teknologi informasi, ide-ide untuk mengurangi ketergantungan terhadap digital dan ekonomi digital juga muncul. Mereka mempraktikkan DigitalDetox atau Social Media Detox sebagai upaya pengendalian diri untuk terus menerus ikut dalam arus besar perubahan digital. Kita bisa menganggap bahwa contoh eksperimentasi-eksperimentasi sosial itu adalah embrio dari disrupsi yang akan menguji, membuat tantangan, dan mengguncang “kenormalan baru”.

Selanjutnya, "More with Less” muncul sebagai fenomena ekonomi baru. More with Less” adalah salah satu segmen yang tumbuh, tapi tidak kemudian menghilangkan secara drastis segmen lain yang tidak berorientasi pada “More with Less”. Fenomena antrean handphone mahal akan tetap ada, karena segmen yang berorientasi pada prestige dan image premium juga bukan segmen yang mandek.

More with Less” salah satunya terjadi karena secara teknologi proses produksi dalam jumlah raksasa akan menekan biaya per-satuan. Bahkan,manufacturing bisa semakin mudah menambah dan mengurangi feature barang yang sama, namun memiliki seri yang bermacam macam.

More with Less” juga berproses karena ada perkembangan segmen-segmen yang beragam dan menuntut perhatian untuk mendapatkan kualitas baik untuk barang-barang yang lebih murah.

Brand-brand besar yang memiliki segmen besar pun merespon dengan melayani berbagai kebutuhan itu. Mereka merancang range produk yang lebar, dari premium sampai ke basic, dari yang super mahal sampai ke receh-receh, tetap dengan brand yang sama. Seri produk yang banyak itu, bukan hanya ditawarkan oleh produk-produk kategori gadget tapi juga sampai pada transportasi, perhotelan, bahkan traveling.

Lantas, bagaimana strategi komunikasi untuk pasar “More with Less? Kampanye komunikasi sejatinya juga mengenal logika “More with Less” yang menekankan pada efisiensi biaya komunikasi, kekuatan akurasi pengiriman pesan, penerapan automation, mengatur frekuensi content, sampai pada inovasi penjualan semacam growth hacking. Praktik pada komunikasi “More with Less” itu kiranya bisa mendampingi fenomena “More with Lessmarketing.

Komunikasi digital adalah lahan yang subur untuk memraktikkan “More with Less” campaign. Salah satunya adalah melihatkan crowdcontent dan partisipasi publik pada proses penyebaran media. Titik penting dalam kampanye yang memancing keterlibatan publik ini adalah kreativitas.

Automation juga memungkinkan penggunaan big-data untuk meningkatkan akurasi pengiriman pesan yang kontekstual kepada calon-calon pembeli yang benar-benar membutuhkan sebuah barang. “More for Less” campaign, bisa menggunakan metode ini.

Apakah More with Less” marketing akan memangkas budget komunikasi? Jawabannya, sejak landscape digital berkembang dan berbagai platformsocialmedia tumbuh, bisnis komunikasi telah masuk dalam era “More with Less”, client semakin prudent menggunakan budget: merancang kegiatan komunikasi mereka dengan benchmark yang jelas dan KPI (Key Performance Indicator) yang lebih akurat.

Kita semakin terbiasa dengan efisiensi dan planning-planning yang lebih akurat, termasuk tuntutan untuk mengejar KPI yang sangat ketat. Organisasi bisnis komunikasi merespon dengan fleksibel dan menginovasinya dirinya dengan berbagai cara kreatif. Yang penting dan menarik adalah kenyataan bahwa konsep “More with Less” semakin menghargai ide ide dan solusi kreatif dari para konsultannya, dengan value komersial yang tinggi.

Yang menarik, di era information overloaded, untuk mendapatkan perhatian audience bukanlah persoalan seberapa banyak kita membobardir informasi, tapi lebih seberapa akurat dan relevan komunikasi kita dengan konteks audience. Jadi, pasar memang secara alami telah memaksa kita untuk “more with less”. Sikap-sikap “More with Less" itu beberapa di antaranya adalah memilih media yang tepat meski tersedia ratusan channel, memilah segment yang produktif di antara semakin banyak micro segment yang tumbuh, mengontrol content kita untuk tidak menjadi spam di benak audience, mempraktikkan automation untuk mendapatkan the hottest potential buyer, serta memanfaatkan partisipasi publik untuk menyebarkan pesan-pesan kampanye kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)