Menyimak 45 Tahun Perjalanan Merek Blue Bird

Tetap eksis di tengah pertarungan layanan transportasi umum jelss bukan perkara mudah. Terlebih, kehadiran layanan transportasi berbasis online (aplikasi mobile) terbukti telah mengubah peta pertarungan di industri layanan transportasi umum.

Fenomena itu juga dihadapi Blue Bird, layanan transportasi umum--dengan mayoritas armada taksi--yang tahun 2017 ini memasuki usia 45 tahun. Meski persaingan dari berbagai penjuru makin memburu eksistensi Blue Bird--seperti commuter line, pesawat yang makin terjangkau, hingga transportasi online--namun Blue Bird sanggup menjadi Top 10 Meaningful Brand in Indonesia.

Merujuk "Meaningful Brand Index Survey 2014", Blue Bird mampu menjadi salah satu brand lokal yang masuk Top 10 Meaningful Brand in Indonesia. Sementara itu, dari berbagai brand yang masuk "Meaningful Brand in Indonesia", brand-brand asing dan multinasional mendominasi.

Dikatakan Direktur Blue Bird Andrianto Djokosoetono, yang akrab disapa Andre, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Blue Bird untuk menjadi brand yang tetap eksis dan legendaris. "Kuncinya adalah bagaimana memberikan layanan terbaik pelanggan atau penumpang, di mana setiap tahunnya Blue Bird melayani 100 juta penumpang," tegasnya.

Ditambahkan Sigit Djokosoetono, Direktur Blue Bird, setiap dekade tentu saja beda-beda tantangannya. "Oleh karena itu, strategi yang kami hadirkan setiap dekadenya berbeda," jelasnya.

Pada satu dekade pertama, dikisahkan Sigit, tantangan Blue Bird adalah mewujudkan mimpi untuk menjadi brand lokal yang mampu bersaing di layanan taksi. Oleh karena itu, strategi yang dikedepankan Blue Bird saat itu adalah fokus memperbanyak produk (armada) yang berkualitas sekaligus memperkuat layanan yang terbaik.

Untuk itu, pada dekade pertama, Blue Bird menghadirkan berbagai added value. Antara lain, pada tahun 1972, Blue Bird menghadirkan armada taksi Hilden Torana, tarif taksi dengan argometer, operator terpusat, dan unit bengkel. Tahun 1980, Blue Bird kembali menyajikan inovasi berupa armada taksi dengan AC.

Selanjutnya, pada dekade kedua, kata Sigit, strategi yang dilancarkan pada dekade pertama sudah mulai nampak. Meski demikian, Blue Bird tak berpuas diri. Untuk itu, pada tahun 1990, Blue Bird meluncurkan call center guna memperkuat layanan terbaiknya. Tahun 1992, Blue Bird kembali meluncurkan armada taksi untuk segmen eksekutif.

Pada dekade ketiga, diakui Sigit, fondasi Blue Bird sudah mulai terbentuk. Bahkan, di saat itu, Blue Bird tengah masuk ke era teknologi. Oleh karena itu, pads tahun 2002, Blue Bird menghadirkan aplikasi radio mobile data terminal.

Memasuki dekade keempat, diungkapkan Sigit, persaingan makin ketat. Terutama, untuk melakukan ekspansi yang makin luas. Strategi inovasi pun dipilih Blue Bird untuk menghadapi persaingan tersebut. Antara lain, menghadirkan armada taksi Mercedez Benz pada 2007, meluncurkan fasilitas pembayaran melalui mesin EDC pada tahun 2008, dan menawarkan layanan pemesan via smartphone Blackberry--yang notabene tengah happening di masa itu.

Menginjak dekade kelima, Blue Bird harus menghadapi persingan dari kompetitor yang berbasis aplikasi online. Tentu saja, guna menghadapi agresivitas kompetitor tersebut, Blue Bird pun harus mengubah strateginya dengan berbasis online. Artinya, layanan konvensional saja tidaklah cukup. Blue Bird harus melengkapinya dengan layanan berbasis online.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)