“More for Less” Economy Hanya Jargon

Ardi Wirda, Founder Prompt dan Doktor Marketing dari UI

Terlalu pagi, jika menyebutkan bahwa saat ini digital economy dan leisure economy yang terjadi di Indonesia telah menemukan critical mass. Pada beberapa kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang tinggi, tentu saja pernyataan tersebut beralasan. Namun, perlu diingat, mayoritas masyarakat Indonesia justru pada posisi tidak mampu mengakses manfaat digitaleconomy dan leisure economy. Mereka adalah korban dan bukan pelaku. Bahwa ini akan menjadi a whole new world, saya kira itu adalah realitas. Nah, yang selalu menjadi masalah adalah siapa yang akan menikmati the whole new world ini?

Dalam ekonomi yang “lama”, sebenarnya pertumbuhan juga flat. Ekonomi dunia secara global melaju dengan growth yang cukup stabil dari dekade 80-an. Pernah ada growth yang cukup tinggi pada awal 2000-an, namun kembali ke posisi yang normal. Beberapa tahun terakhir malah pertumbuhan global berada di bawah rata-rata.

Digitaleconomy ini memang disrupted dalam pengertian membawa realokasi dalam kepemilikan dan manfaat sumber daya. Banyak usaha tumbuh, sebaliknya juga banyak usaha tumbang karena digital economy. Namun, nett-nya dalam ekonomi global atau dalam ekonomi Indonesia belum terlihat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, ya masih flat.

“More for Less” economy ini memang menarik, tapi jelas hanya jargon. Karena, “More for Less” bukan fenomena yang muncul belakangan. Sedari dulu orang juga menginginkan barang dengan kualitas tinggi dan berharga murah. Lantas, apa yang baru?

Dalam amatan saya, kebanyakan dari applikasi-applikasi dalam digitaleconomy tersebut berfungsi sebagai middle-man. Sebagai pasar atau outlet. Lihat saja Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan seterusnya, yang mereka berikan adalah jasa. Persisnya, menghubungkan antara produsen dan konsumen. Sementara produknya, masih harus dibuat dan diantarkan dalam dunia nyata. Ingat, konsumennya adalah orang. Bukan avatar.

Apa yang sebenarnya terjadi ketika pasar offline berpindah ke pasar online untuk menjadi digital economy? Kompetisi yang semakin sempurna. Ini dikarenakan informasi yang semakin simetris dan barrier to entry yang semakin rendah. Secara teori, ini akan membuat ekonomi lebih efisien. Kita berharap ekonomi akan tumbuh tinggi dan bukan flat atau cenderung turun.

Secara normatif tentu saja ada tiga hal yang harus dilakukan oleh klien menyikapi hal itu. Pertama, memanfaatkan kesimetrikan informasi menjadi panduan dalam melakukan inovasi, baik untuk produk maupun branding. Ini bicara peningkatan kualitas. Kedua, melakukan re-alokasi sumber daya untuk mencapai efisiensi ekonomi. Ini artinya, bicara tentang biaya. Ketiga, menjadikan berkurangnya barrier to entry untuk menjangkau segmen-segmen yang tadinya dianggap costly. Ini bicara tentang perluasan pasar.

Nah, saat bicara tentang orientasi konsumen yang katanya “More for Less”, saya khawatir, kita lebih digerakkan oleh jargon daripada fokus ke fenomena digital economy itu sendiri. Khawatirnya misleading.

Dalam era digitaleconomy ini, fenomena yang menonjol justru bukan soal “More for Less”, namun tingkat kompetisi. Dalam konteks komunikasi pemasaran, tentu ini terkait dengan kesimetrikan informasi. Konsumen dengan toolsdigital-nya dengan mudah mencari tahu apa barang yang dibeli. Produsen pun punya kemampuan untuk mengakses siapa pembeli produknya. Kedua belah pihak memaksimalkan value-nya dengan kemampuan mengolah informasi. Saran saya tentu produsen melakukan ini dengan baik. Menggali informasi tentang konsumen dan merefleksikannya pada produk dan makna merek untuk keperluan persuasi.

Pertanyaan berikutnya, apakah “More for Lessconsumer akan berdampak pada harga jual produk dan cost yang harus dikeluarkan oleh klien (brand)? Apakah hal itu juga akan berbuntut pada langkah klien dalam memangkas biaya komunikasi pemasaran untuk melayani konsumen yang “More for Less”? Jawabannya, tidak harus demikian. Yang akan terjadi hanya perpindahan tempat melakukan komunikasi pemasaran. Mencari titik optimal antara offline dan online. Pasar online itu bekerja dengan cara yang analog dengan offline. Di dalam tokonya, kita masih perlu visibility dan promosi. Siapa bilang di dalam aplikasi Tokopedia tidak terjadi perang placement dan diskon

Selanjutnya, tentang harga produk, maka akan berpulang pada kemampuan berinovasi dan menambahkan nilai. Offline atau online, orang akan tetap memberikan nilai tingi pada barang dan merek yang sesuai dengan aspirasi.

Dengan budget terbatas, bagaimana pemasar akan berkomunikasi dengan khalayak sasaran dari kalangan milenial yang juga mengalami tujuh disrupsi? Saya mencoba menjawabnya secaralebih sederhana. Dunia kita berubah dengan akses ke dunia digital. Exposure kita berubah, attitude kita berubah, demikian pula dengan perilaku. Dalam sesuatu yang selalu berubah, kita harus berpegang pada suatu yang konstan. Yang selalu benar setiap saat. Apa itu? Manusia melakukan konsumsi untuk menutupi kesenjangan antara apa yang ada dan apa yang diidealkan. Dari titik ini, kita bergerak. Apa-apa saja yang berubah dalam ideal konsumen? Kita harus selalu menelusuri ini dari sisi utilitas/fungsional, emosional, atau simbolik.

Generasi muda saat ini dikatakan sebagai mereka dengan rentang perhatian yang terbatas. Mereka lebih kaya informasi, sehingga tidak bisa digurui. Mereka generasi yang kritis dan tidak merasa perlu untuk menyembunyikan pengetahuan atau kemampuannya. Kalau ini yang kita percaya, ya mari kita berkomunikasi dengan cara yang kompatibel dengan mereka.

Artinya, perbedaan karakteristik ini bukan persoalan anggaran komunikasi pemasaran. Ini lebih pada persoalan konten komunikasi pemasaran. Sekali lagi, tentu konten yang kompatibel dengan karakteristik mereka. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)