Keputusan cepat yang diambil manajemen Sido Muncul dalam mensikapi masalah yang menimpa brand ambassadornya bisa jadi pelajaran bagi para pengelola merek. Keputusan itu itu setidaknya bisa meminimalkan risiko lebih jauh akibat tindakan yang dilakukan oleh brand ambassador.
Langkah Sido Muncul juga memberi banyak pelajaran bagi pengelola merek dalam memikirkan strategi endorementnya. Misalnya, tidak tertutup kemungkinan merek harus menentukan aturan yang setidaknya menjadi kesepakatan awal tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh brand ambassadornya.
Memakai selebriti sebagai endorser bisa mengerek awareness merek dengan cepat. Apalagi bila itu dilakukan dengan memakai selebriti yang sedang berada di puncak ketenaran. Mereka bisa membantu mengerek popularitas merek dengan cepat. Namun, praktik seperti ini bukan tanpa risiko. Selain brand produk bisa kalah pamor dari brand sang selebriti sendiri (overshadowing), memakai selebriti ngetop perlu biaya yang tidak murah. Perusahaan harus mengeluarkan 20% lebih mahal untuk menyewa selebriti ngetop.
“Biayanya bisa mencapai 30% dari total biaya produksi. Kalau memakai talent artis yang belum terlalu terkenal, cost-nya paling hanya 10% dari biaya produksi. Makanya, kita harus benar-benar yakin, dengan uang sebesar itu si artis benar-benar membantu (mengangkat awareness merek),” tutur seorang sumber.
Memakai selebritis sebagai endorser, katanya, biasanya dilakukan untuk mempercepat meraih awareness. Objektif seperti ini, biasanya diinginkan oleh pemilik merek yang menghadapi persaingan yang sangat ketat dan kompetitor yang agresif. Selain itu, katanya, selebriti juga sering dipakai oleh perusahaan yang ingin mengubah image merek.
Pemakaian selebriti sebagai endorser biasanya juga dilakukan untuk menggambarkan positioning sebuah merek seperti iklan kopi Luwak yang menggunakan banyak artis untuk mengkomunikasikan positioning-nya sebagai kopinya para bintang. Jadi mau tidak mau, brand itu harus menggunakan bintang atau artis sebagai endorser.
Para pemilik merek sebetulnya tidak perlu selalu menggunakan selebriti untuk meng-endorse brand-nya. Seringkali talent yang biasa saja (bukan selebritis)—yang oleh kalangan akademisi disebut sebagai lay endorser, cukup efektif mendukung kampanye brand. Dengan catatan, tentu saja, storyline iklannya harus cukup menarik. Bahkan brand yang mempunyai unique selling proposition (USP) yang kuat seringkali tidak memerlukan endorsement selebriti. Kekuatan USP-nya sendiri mampu menarik perhatian audience, meski tanpa endorsement selebriti.
Memakai endorser selebriti bukan tanpa risiko. Kalau selebriti ada masalah, dampaknya bisa langsung ke image brand yang di-endorse. Apapun yang dilakukan oleh si artis atau selebriti dalam kehidupan pribadinya akan memberikan dampak kepada citra brand yang di-endorse. Apabila kalau endorser melakukan perbuatan yang tidak pantas, citra produk dapat saja ikut melorot. Risiko yang lain, kalau karakter selebriti tidak sesuai dengan karakter brand yang di-endorse. Ini akan menjadi masalah untuk program pemasaran selanjutnya dari brand yang bersangkutan.
Memakai selebriti yang sedang naik daun biasanya mengandung risiko yang lebih besar. Karena produk lain pasti juga memanfaatkan artis yang sedang ngetop itu untuk meng-endorse produknya (sehingga sang endorser menjadi overexpose). Dan brand berebutan mendapatkan endorsement dari selebriti tersebut. Karena berebutan, biasanya perhatian audience menjadi tidak fokus.
Jan Johansson dan Jorgen Sparredal, dalam tesisnya di Social Sciences and Business University of Technology, pada 2002, mencatat ada sejumlah potensi risiko penggunaan selebriti sebagai endorser. Selain negative publicity yang bisa merusak image selebriti, juga ada risiko overexposure (akibat pemakaian selebriti oleh lebih dari satu brand dari kategori produk yang berbeda), overuse (akibat penggunaan lebih dari satu selebriti/ multiple endorsement ), overshadowing (awareness brand selebriti mengalahkan awareness brand yang di-endorse), dan extinction (situasi di mana brand selebriti endorser menurun bahkan mati).
Menurut Johansson dan Sparredal, akan sangat menguntungkan sebuah brand kalau yang terjadi adalah kebalikan dari extinction, yaitu situasi di mana sang selebriti justru lebih terkenal, populer, dan layak dipercaya (trustworthy) setelah dia menandatangani kontrak sebagai endorser brand tersebut.
Paling bagus kalau bisa mencari artis yang sedang dalam perjalanan naik, tapi merek harus yakin pada saatnya atau dalam waktu dekat dia akan menuju puncak. Jadi pada saat si artis sudah ada di puncak kepopuleran, brand yang di-endorse pun ikut menuju puncak bersama sang artis.
Soal overuse, Johansson dan Sparredal mengatakan bahwa pengiklan seharusnya mengembangkan hubungan jangka panjang dengan satu selebriti untuk menegaskan strategi brand yang single, jelas, dan konsisten sepanjang waktu seperti yang dilakukan Promag oleh Deddy Mizwar. Namun demikian, menurut Johansson dan Sparredal, kontrak jangka panjang dengan seorang selebriti juga berisiko. Bisa saja sang selebriti lenyap dari sorotan media sebelum masa kontrak berakhir. Ingatan target audience tentang selebriti tersebut bisa menghilang yang bisa menyebabkan menurunnya perhatian mereka pada iklan dan brand produk yang di-endorse.
Pemilihan selebriti yang baru akan terkenal (the rising star) ini juga bisa menghindari “the star not bigger than product” (oveshadowing), sekaligus mengeliminasi terjadinya extinction. Salah satu cara untuk menghidari overshadowing adalah dengan meminta endorser mengucapkan brand yang diendorsenya sebanyak mungkin dan menampakkan merek atau produk yang diendorse sebanyak mungkin dalam storyboard-nya.