Menjadi merek legenda, sejak kehadirannya di Indonesia tahun 1931 silam, membuat Bata tak ingin menua. Aneka cara dilancarkan Bata agar brand-nya tetap terlihat muda. Antara lain dengan memperkaya brand-nya menjadi sembilan brand. Mulai dari brand Bata yang menyasar semua segmen, North Star yang menyasar pasar remaja, Power yang merupakan sepatu olahraga, Bubblegummers yang menyasar kids segment, Babybubble yang menyasar pasar bayi, Marie Claire yang membidik pasar premium, Weinbrenner yang menyasar pasar anak muda, B-First yang merupakan sepatu sekolah, hingga paling anyar PataPata yang merupakan sandai santai.
Pabrik Bata di Purwakarta mampu memproduksi 25 ribu pasang alas kaki setiap harinya
Memperkaya brand saja tentu tidaklah cukup. Agar Bata tetap dikenal, maka strategi marketing komunikasi menjadi sebuah keharusan. Diakui Marketing Manager PT Sepatu Bata Indonesia Tbk Zaki Albiansyah, dalam dua tahun terakhir ini tantangan terbesar adalah bertarung dengan brand-brand FMCG (Fast Moving Consumer Goods) di media konvensional, antara lain di televisi. Maklum saja, brand FMCG memiliki anggaran belanja marketing komunikasi yang jauh lebih besar. “Sementara itu, situasi ekonomi yang dalam dua tahun terakhir ini masih kurang bersahabat, membuat kami harus berhati-hati dalam memilih kanal komunikasi yang tepat,” jelas Zaki.
Dengan belanja marketing komunikasi yang hanya Rp 14 miliar di tahun 2014, Bata memilih membelanjakan 70% dananya untuk Below The Line (BTL). Antara lain, trade promo maupun consumer promo lewat beragam program diskon. Sisanya, 30% untuk beriklan di radio dan televisi. “Tahun 2015 ini, karena ekonomi masih belum membaik, maka dana marketing komunikasi kami agak turun, menjadi Rp 12 miliar,” akunya.
Belanja marketing komunikasi yang hanya Rp 12 miliar, membuat Bata memilih tidak menggunakan Above the Line di tahun 2015 ini. Menurut Zaki, Bata akan fokus pada kegiatan BTL, seperti consumer promo dan trade promo, hingga program Public Relations (PR) antara lain dengan mengundang media untuk mengikuti factory visit ke Purwakarta.
Selain itu, Bata juga melengkapi strategi marketing komunikasinya di tahun ini dengan merambah social media. “Mulai tahun lalu sebenarnya kami sudah se-up untuk social media. Hanya saja, baru tahun ini kami sudah aktif di social media, seperti facebook, twitter, dan instagram. Ada tim khusus yang menangani dan menciptakan brand engagement di social media Bata,” lanjut Zaki.
Ditambahkan Deputy to Retail Director PT Bata Indonesia Budiharta, selain strategi marketing komunikasi, Bata juga melancarkan loyalty program lewat Bata Club. Cukup dengan mendaftar secara online di www.bata.com, konsumen akan mendapatkan ID Bata Club. Nantinya, berbagai keuntungan dapat diperoleh member lewat keanggotaan Bata Club.
“Bata Club baru kami luncurkan pada awal tahun 2015. Hingga Mei ini anggotanya sudah mencapai 4.000-an. Akhir tahun ini, kami berharap jumlah keanggotaan mencapai 100 ribu. Dihadirkannya Bata Club karena 90% konsumen kami adalah return customer,” kata Budi beralasan.
Diakui Budi, sampai saat ini, Bata memang dikenal sebagai brand yang berkualitas kuat dengan harga yang terjangkau. Value itulah yang sampai saat ini masih akan terus dipertahankan oleh Bata. Sayangnya, meski dipersepsi tahan lama dan harga terjangkau, persepsi kurang stylish juga menempel pada produk bata. “Persepsi itu memang tidak dapat kami hindari. Lantaran, 90% konsumen Bata yang merupakan return customer memang tidak menyukai perubahan yang ekstrim,” ucapnya.
Mau bukti? Lima tahun lalu Bata pernah mencoba bermain pada warna dan model, dengan mengambil desainer orang Italia. Ketika dilempar ke pasar, rupanya customer Bata yang 90% return customer menganggapnya sebagai hal yang aneh. Alhasil, Bata memilih tidak berani ekstrim bermain dengan warna maupun model. Sementara itu, untuk mengakomodir produk sepatu atau sandal yang berani bermain di warna dan model, Bata menawarkan brand Marie Claire, Foot In, dan Weinbrenner sebagai pilihannya.