Bagaimana Cara Menjangkau Generasi Milenia?


Meskipun ada beberapa kesamaan antara generasi milenium termuda dan pendahulu mereka yang lebih tua, tapi ada juga perbedaannya. Survei yang dilakukan Accenture pada hampir 10.000 konsumen usia 18-37 di 13 negara membuktikan itu. Sebagai contoh, sementara Facebook tetap platform sosial paling populer untuk usia generasi milennium muda (21-27) dan yang lebih tua (28-37), YouTube menjadi platform media sosial yang paling teratur digunakan di antara kelompok yang sangat muda, mereka dari kalangan usia 20 dan di bawahnya.
Definisi generasi millennium memang bervariasi dari perusahaan ke perusahaan. Survei Accenture mendefinisikan kelompok berusia 20 dan lebih muda sebagai Gen Z. Sedangkan eMarketer mendefisinikan mereka adalah bagian dari generasi milenium yang luas yang merupakan orang-orang yang lahir dari tahun 1981 hingga 2000.
Masih menurut Accenture, dua pertiga dari pembelanja yang lebih muda mengatakan bahwa mereka secara teratur menggunakan Instagram, sedangkan yang usianya lebih tua lebih tua penguna Instagram teratur hanya 40%. Yang menarik dari temuan survei ini adalah untuk Snapchat, ternyata pengguna dari kelompok yang lebih muda persentasenya dua kali lebih banyak dari milenium tua.
Mengapa preferensi penggunaan media sosial ini perlu dicermati? Ini terkait dengan strategi perusahaan menggunakan perangkat media sosial sebagai media pemasaran. Temuan itu menunjukkan bahwa lebih dari dua-pertiga dari kelompok termuda tertarik untuk membeli melalui media sosial secara langsung, dan lebih dari dua-perlima menggunakannya untuk inspirasi produk. Juga patut dicatat, lebih dari sepertiga mengatakan mereka telah meningkatkan penggunaan media sosial dalam satu tahun terakhir ini untuk membantu menentukan apakah mereka membeli atau tidak membeli suatu produk.
Fenomena tersebut memaksa produsen, retailer, dan penyedia jasa mengubah strategi pemasaran, khususnya marketing communication-nya. Hari –hari ini mereka harus menyediakan dua saluran ritel online utama, yakni situs pengecer dan aplikasi mobile. Aplikasi mobile adalah saluran baru yang tersedia untuk pelanggan. Pertumbuhan fenomenal pelanggan smartphone yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir membuat aplikasi mobile semakin popular. Aplikasi di smartphone mendukung e-commerce. Mobilitas, fleksibilitas, dan penyebarannya merupakan sebagian dari banyak keuntungan aplikasi mobile bagi pelanggan.
Perangkat mobile ini juga memungkinkan pengecer memasuki lingkungan pelanggan, di mana saja, kapan saja. Pengecer dapat menggunakan saluran mobile untuk mendorong promosi penjualan ke konsumen dan mengaksesnya secara langsung. Dengan mengadopsi perangkat mobile, konsumen dan pengecer dapat menangani transaksinya secara lebih efisien, mengurangi dispersi harga, dan meningkatkan efisiensi pasokan.
Aplikasi mobile menawarkan pengecer saluran distribusi baru. Karena beberapa fungsi tambahan, aplikasi mobile memberikan manfaat yang unik dibandingkan dengan website dalam menciptakan nilai tambah untuk pelanggan. Nilai digambarkan sebagai evaluasi keseluruhan oleh konsumen atas utilitas suatu produk (atau jasa) berdasarkan persepsi terhadap yang diterima dan apa yang diberikan.
Tantangan terbesar yang dihadapi pemasar saat ini adalah menciptakan pengalaman saat ini secara konsisten. Perkembangan ritel online dan saluran belanja alternative menantang pengecer untuk terus memberi perhatian secara khusus agar bagaimana caranya mereka dapat memotivasi pelanggan menggunakan saluran online baru. Salah satunya adalah dengan menciptakan layanan channel yang dapat mencegah pelanggan beralih ke pesaing.
Survei yang dilakukan Google bekerja sama dengan TNS, perusahaan konsultan riset pemasaran, terhadap 1.036 pengguna ponsel pintar di Indonesia memberikan gambaran bahwa rata-rata pengguna mengakses internet di telepon seluler pintar sekitar dua jam per hari. Selama kurun waktu tersebut, jenis fitur yang kerap dibuka oleh pemilik ponsel pintar adalah mesin pencari dan aplikasi layanan digital tertentu.
Pemakaian aplikasi semakin diminati pengguna perangkat bergerak. Meski masih didominasi buatan asing, upaya mengakomodasi pengembang aplikasi lokal kian bertambah. Survei lain yang dilakukan GfK—lembaga riset pasar global— di Jakarta, Bandung, Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, Semarang, dan Surabaya pada Oktober-November 2015, menunjukkan penetrasi pemakaian aplikasi mencapai 97 persen dibandingkan dengan mesin penelusuran yang hanya 76 persen di kalangan pengguna perangkat bergerak. Pengguna biasanya meluangkan waktu rata-rata 60 menit per hari untuk memakai aplikasi.
Perilaku tersebut, lanjut dia, memberi peluang bagi pelaku industri perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Kondisi itu sejalan dengan peningkatan penetrasi ponsel pintar dari tahun ke tahun,” ujar Country Industry Head Google Incorporation Henky Prihatna dalam diskusi hasil survei ”Shopping in Indonesia Insights 2016”, Kamis (17/11), di Jakarta.
Sebanyak 14 persen dari total penduduk Indonesia memiliki ponsel pintar tahun 2013. Setahun kemudian, penetrasinya meningkat menjadi 28 persen. Adapun pada 2015, penetrasi sudah mencapai 43 persen dari total populasi. Henky menyebutkan, jumlah warga yang mempunyai ponsel pintar diperkirakan lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Hasil survei menyebutkan, 92 persen dari responden lebih menyukai membeli barang dari perusahaan yang sudah mengembangkan laman dengan kemampuan khusus ponsel pintar (mobile site) ataupun aplikasi. Sekitar 59 persen dari total responden mengakses fitur mobile site dan aplikasi beberapa perusahaan e-dagang agar bisa membandingkan harga produk yang diinginkan. ”Keberadaan fitur mesin pencari tidak lagi hanya digunakan mencari data, tetapi juga informasi agenda diskon belanja daring,” ujar Henky.
Selama ini, banyak perusahaan yang menerapkan pemasaran lewat mobile sebagai jalur trial untuk mempelajari pasar dan testing keefektivitasannya. Sementara pemasaran iklan lewat jalur konvensional, seperti televisi, radio, billboard, media cetak, dan media online cenderung masih jadi andalan. Ini memberikan gambaran bahwa iklan mobile bukanlah kompetitor bagi iklan konvensional. Iklan mobile adalah pelengkap yang sudah ada. Ada tambahan channel marketing yang tingkat efektivitasnya bisa terukur dengan tepat.
Penerapan mobile marketing di lingkup Asia Pacifik saat ini diperkirakan baru 7%-10% dari total bujet iklan. Di Indonesia, beberapa perusahaan menerapkan mobile marketing untuk kegiatan pemasaran dan diperkirakan akan mengalami lonjakan pada tahun 2018 dimana perusahaan bakal menambah budget untuk mobile marketing menjadi 20 persen dari total belanja iklannya. Ini berarti peluang sekaligus tantangan bagi pemasar, apakah mereka ikut menerapkan pekasaran dengan aplikasi mobile atau tergilas oleh pesaing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)