Komunikasi pemasaran yang bagus adalah yang bisa mempengaruhi sikap konsumen. Namun yang perlu diingat, komunikasi pemasaran yang bagus juga meningkatkan harapan kosnumen. Lalu apa yang harus dilakukan produsen? Apa konsekuensinya?
Beberapa hari lalu, seorang teman posting foto sebuah usaha martabak di Jakarta milik anak seorang pejabat. Dia cerita kalau usaha yang baru dibuka beberapa hari itu sukses, terbukti dengan banyaknya pembeli sehingga sampai rela antri beberapa belas bahkan puluh menit untuk mendapatkan martabak itu.
Usaha martabak itu juga menjadi pembicaraan banyak orang baik di sosial media maupun di pesan dadakan di smartphone dan tablet. Sebagian memuji keunikan karena keragaman rasa – bukan sekadar coklat, kacang, keju tapi juga ada rasa lain seperti green tea, dan sebagainya. Ada juga yang memuji rasa, namun yang paling banyak adalah pujian “kemerakyatan” pengusaha tadi karena meski dia anak pejabat, dia tetap berusaha sebagaimana teman-temannya yang tidak mengandalkan fasilitas orang tuanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan usaha kecil menengah (UKM) memang luar biasa. Ketua Bidang UKM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Nina Tursinah mencatat bahwa di Indonesai saat ini terdapat sekitar 56 juta UKM. Dari jumlah tersebut terserap sekitar 94 juta tenaga kerja. Artinya, masing-masing UKM mempekerjakan tiga orang.
Perkembangan teknologi internet dan sosial media banyak membantu meningkatkan kapasitas UKM melalui promosi di internet. Saat ini, kata Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM I Wayan Dipta, sudah lebih dari 4.000 produk miliki pelaku bisnis UKM yang dijajakan melalui internet. Wayan menambahkan, dengan makin banyaknya promosi yang dilakukan melalui marketplace, maka pelaku UKM akan lebih banyak memiliki pembeli yang tersebar di seluruh Indonesia.
Persoalannya adalah bagaimana bila makin banyak UKM yang masuk ke toko online? Bisa dipastikan situasinya akan sama dengan kondisi pasar off-line. Beberapa tahun lalu, ada pengusaha yang membuka outlet pisang goring pasir. Ketika itu, banyak orang yang membicarakannya dan pembeli harus antri. Outletnya berkembang dimana-mana. Orang lain pun banyak yang mengikutinya. Namun belakangan suara bisnis pisang pasir itu kurang terdengar.
Bila tidak dijaga, yang selama ini menjadi keunikan bakal menjadi generik. Ujung-ujungnya adalah perang harga. Itu juga menimpa di bisnis dengan model sharing economy. Belakangan GoJek dan GrabBike bersaing. Bahkan persaingan model bisnis ini juga terjadi di Amerika. Beberapa waktu lalu, dalam blognya, Brian Solis sempat mengungkapkan kegalauannya dengan pertanyaan, apa yang terjadi bila dalam model bisnis sharing economy tidak ada yang mau sharing?
Yang menarik, kesadaran para pelaku bisnis UKM terhadap branding begitu besar. Mereka banyak menciptakan diferensiasi meski sebatas nama. Lihat saja, ada nasi becek khas Nganjuk, Purwodadi, dan Tuban. Baru-baru ini seorang teman cerita tentang pengusaha UKM Medan yang membuka outlet martabak baru dengan nama Martabak Horor. Untuk mendukung klaimnya itu saat launching ada ceremony penyerahan hidangan martabak oleh perempuan-perenmpuan yang didandani mirip pocong.
Banyak dibicarakan orang. Dalam situasi “kekacauan” media seperti sekarang ini, dibicarakan menjadi semakin penting. Beberapa merek jutsru menginginkan itu. Marketing communications seringkali bisa menciptakan harapan dan kepuasan konsumen. Komunikasi pemasaran, seperti iklan, berperan sebagai sumber informasi dan motivasi bagi konsumen sebelum melakukan pembelian, dan terus menerus menyampaikan pesan kepada calon konsumen, pelanggan saat ini dan masa lalu pelanggan, bahkan ketika mereka menggunakan produk tersebut.
Dengan demikian, komunikasi pemasaran menyajikan sesuatu yang baik tentang produk atau layanan. Komunikasi pemasaran yang baik adalah yang bisa mempengaruhi sikap konsumen. Banyak cara yang dilakukan oleh praktisi komunikasi pemasaran atau pengelola merek agar sebuah merek menciptakan harapan dan perbahwa merek itu bisa memenuhi harapan itu. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan komunikasi pemasaran -- melalui iklan misalnya -- yang secara keseluruhan bisa menampilkan manfaat sekaligus menciptakan dan mengelola harapan konsumen.
Sebagian pembelian -- baik yang diprovokasi oleh komunikasi pemasaran secara langsung, tidak langsung, atau tidak sama sekali -- memberikan efek yang memuaskan, atau setidaknya satisficing, karena kinerja produk atau jasa memberikan sesuatu yang diharapkan. Namun, ketika kinerja layanan atau produk yang diterima di bawah standar, pelanggan mendapati pengalaman yang mengecewakan. Ini yang disebut oleh banyak ahli sebagai krisis yang bisa membahayakan produk. Ini karena konsumen akan cenderung menuding perusahaan yang bertanggungjawab atas pengalaman yang buruk itu.
Dibicarakan orang – terutama tentang hal-hal yang baik -- pada dasarnya juga menciptakan atau meningkatkan harapan. Ketika harapan meningkat dan merek tak bisa mendeliverinya, merek akan dibicarakan banyak orang juga. Namun kali ini sisi negatifnya. Sementara beberapa peneliti melihat dampak positif insiatif corporate social responsibility (CSR) terhadap banyak hal, termasuk word-of-mouth, loyalitas, sikap, niat, ikatan emosional, belanja, dan identifikasi merek, ada peneliti yang menemukan hal yang sebaliknya.
Pada 2006, Luo dan Bhattacharya – dua-duanya adalah...