Pada 2006, Luo dan Bhattacharya – dua-duanya adalah peneliti CSR kenamaann — meneliti beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 500. Hasilnya mereka publikasikan di Journal of Marketing Volume 70 Nomor 4. Temuannya adalah adanya hubungan langsung antara CSR dan kepuasan pelanggan. Studi mereka mengidentifikasi bahwa kepuasan sepenuhnya dimediasi oleh hubungan antara CSR dan nilai pasar perusahaan. Artinya, masuknya konstruk kepuasan pelanggan mengurangi pengaruh signifikansi CSR terhadap nilai pasar.
Akan tetapi, CSR tidak selalu menyebabkan kepuasan pelanggan. Secara khusus, Luo dan Bhattacharya (2006) menunjukkan bahwa di perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan rendah untuk menjadi berinovasi, dampak positif CSR terhadap tingkat kepuasan pelanggan berkurang. Begitu tingkat kepuasan turun, yang dirugikan adalah nilai pasar.
Intinya adalah bahwa bisnis itu dinamis dan semakin dinamis karena perkembangan teknologi. Pengalaman yang mengecewakan itu membuat konsumen berpikiran negatif dan prasangka mulai dari ketidakpuasan, kemaharahan dan penyesalan sehingga bisa jadi mereka memutuskan untuk membeli lagi. Akibatnya perusahaan kehilangan waktu, peluang, uang dan biaya lainnya karena terjadinya pertukaran yang tidak diduga sebelumnya itu.
Ilustrasinya begini. Seorang perempuan yang tinggal di Jakarta ingin membeli seperangkat isi ruang tamu dari seorang pengecer furnitur terkenal di Jakarta. Perempuan itu tertarik membeli setelah melihat Iklan merek perusahaan itu yang menampilkan seseorang yang memuji keindahan dan kenyamanan ruang tamu yang dilengkapi furniture produk perusahaan tersebut. Sebuah iklan yang memiliki orientasi keluarga yang benar-benar menarik perempuan tersebut. Akan tetapi, ketika perempuan itu memutuskan membeli, proses pembelian memakan waktu dan sulit, sering mengalami penundaan, layanan yang kurang ramah, dan barang yang diterimanya sedikit rusak. Setelah melalui perdebatan dan beberapa argumen dan layanan yang buruk, akhirnya perempuan itupun menerima furniture tersebut.
Seorang mahasiswa membeli smartphone dari sebuah toko online. Tak lama setelah tiba, mahasiswa tadi mendapati bahwa software yang terinstal di perangkat itu sedikit ngaco. Mahasiswa itu menelpon dan complain ke toko online tersebut. Penjual berjanji segera menggantinya. Mahasiswa tersebut senang campur kecewa. Senang karena diganti, kecewa karena dia tidak bisa langsung mendengarkan atau menikmati music atau berinteraksi dengan teman-temannya, berselfi dan sebagainya karena ketersediaann perangkatnya tertunda. Padahal, dia ingin melakukan itu semua karena dia akan berulang tahun.
Contoh-contoh itu menggambarkan dua skenario yang jelas tentang hasil yang mungkin terlibat dalam proses pengambilan keputusan konsumen dan akuisisi. Cerita-cerita itu sekaligus menunjukkan bahwa kerugian yang dialami konsumen bukan hanya material. Ada biaya moneter dan non-moneter yang harus ditanggung konsumen karena pengalaman yang tidak memuaskan.
Itu masih dalam tataran sebelum dan saat proses pembelian. Bagaimana bila sesudahnya? Dalam kasus toko furnitur dimana perempuan tadi melakukan pembelian, iklan-iklannya di televisi yang sering menampilkan hal-hal lucu dan menyenangkan cukup menggoda perempuan tadi. Lama setelah perabotan tiba dan ditata di dalam ruang tamu rumah perempuan itu, yang terbayang di dalam pikiran dan hatinya bukanlah produk melainkan iklan itu tadi. Karena itu, begitu ditata dan nuansanya tidak seperti yang dilihat di iklan, dia akan “marah” dan akan selalu mengingat pengalaman tidak menyenangkan itu.
Sementara itu, dalam kasus mahasiswa tadi, sang mahasiswa menyaksikan dan mengalami sendiri kinerja smartphone tersebut. Kekesalan akan semakin tinggi manakala melihat produsen smartphone it uterus beriklan dengan menampilkan bahwa merek produknya telah memenangkan berbagai penghargaan.
Iklan dan bentuk-bentuk komunikasi pemasaran lain umumnya dimaksudkan untuk merangsang pembelian atau setidaknya menjanjikan pemenuhan harapan yang ada di antara calon pelanggan. Pada kenyataannya, tujuan dari pesan itu sendiri mungkin sebagai pengingat agar yang ditarget mempercepat pembelian kembali. Misalnya, iklan tentang tersedianya versi baru dari sebuah produk ini dan mendorong orang untuk mencobanya. Atau dengan cara “mengancam” bahwa mereka akan kehabisan produk itu.
Bahayanya adalah seringkali harapan pelanggan yang terbangun melalui iklan itu tidak bisa dipenuhi. Kenapa? Pada dasarnya konsumen juga diinamis. Tuntutan mereka semakin lama semakin tinggi karena iklan, interaksi mereka dengan orang lain, dan sebagainya.
Page: 1 2Lihat Semua
MIX.co.id - Berawal dari satu gerai di area Kampus Trisakti pada September 2019, kini Smartfolks…
MIX.co.id – Amazfit, brand global dalam teknologi wearable, merayakan re-launching smartwatch Amazfit T-Rex 3 dengan…
MIX.co.id - Raisha Wirapersada memulai kariernya sebagai Fashion Stylist Assistant di Majalah Kartini pada 2010,…
MIX.co.id - Belakangan ini, tren yang tengah terjadi di industri laptop adalah laptop ber-body yang…
MIX.co.id - Aplikasi crypto all-in-one, PINTU, kembali mencetak kinerja positif sepanjang tahun 2024. Hal itu…
MIX.co.id - XL Axiata melalui XL Axiata Business Solutions dan Xanh SM berkolaborasi untuk menghadirkan…