"Small data seemingly insignificant behavioral observations that point toward one or more unmet costumer needs. Small data is foundation for breakthrough ideas or transformative ways of turning arround brands," ucap Martin Lindstrom, penulis buku paling laris 'Small Data:The Tiny Clues That Uncover Huge Trends' di AdAsia Bali 2017 pada awal November ini (9/11).
Menurut Martin, small data dapat menjadi pendekatan pemasaran yang strategis untuk melakukan transformasi merek. Sebagai pemasar, ia menganjurkan untuk dapat menghabiskan waktu dengan the real people di lingkungan mereka sendiri. Langkah tersebut kemudian harus dikonbinasikan dengan pengamatan yang cermat, sehingga bisa menghasilkan wawasan pemasaran yang kuat.
Dalam setiap kasus, seseorang mengumpulkan informasi untuk mendapatkan wawasan tentang pola perilaku, minat, identifikasi kebutuhan, dan sebagainya. Akan tetapi, pendekatan Lindstrom bergantung pada gabungan dari pengamatan tajam akan sampel kecil dan intuisi terapan. Pendekatan small data seperti ini sejatinya merupakan alternatif human-centric untuk Big Data.
Ia mencontohkan bagaimana Lowes Foods--sebuah jaringan supermarket yang berbasis di Winston-Salem, Carolina Utara--mampu menjadi ritel yang unik dan popular. Ritel yang hadir sejak tahun 1954 itu, pada tahun 2013 mempekerjakan Tim Lowe sebagai CEO untuk mengembangkan bisnis sekaligus mentransformasi merek Lowes Foods.
Dia memulai sebuah strategi untuk menemukan kembali Lowes Foods dengan mengembangkan prinsip merek "otentik lokal". Langkah yang diambil Tim adalah dengan mengembangkan bisnis bersama pedagang lokal; memberikan pengalaman pelanggan yang menyenangkan di dalam toko; dan menerapkan strategi digital omnichannel data-sentris, yang mampu memahami dan melayani pelanggan terbaik rantai tersebut. Hasilnya, sejauh ini membuat para tamu senang dan menjadikan Lowes Foods sebagai merek customer-centric.
Lowes Foods juga menawarkan banyak produk lokal bagi pelanggan untuk mencicipi sementara mereka berbelanja. Ketika bekerja sama dengan pedagang lokal, Lowes Foods tidak hanya mempromosikan dan menjual produk yang ditanam secara lokal dan diproduksi, namun juga membantu pedagang tersebut mengembangkan bisnis mereka. Contohnya, Lowes Foods membantu transisi menanam tembakau ke tanaman lainnya, mekomendasi mereka, hingga berkomitmen untuk membeli keseluruhan panen.
Pengalaman di dalam toko Lowes Foods juga diubah atau ditransformasi hingga mampu menggoda konsumen untuk datang. Pelanggan dapat membawa segelas anggur atau bir sampel dari beberapa pabrik bir lokal saat mereka berbelanja. Di loket layanan, musik diputar dan saat pengunjung datang, mereka diajak melakukan langkah atau tarian chicken boogie.
Sementara itu, ketika pelanggan beralih ke media sosial untuk berbagi sekaligus mengungkapkan pengalaman mereka terhadap Lowes Foods, maka secara otomatis mereka telah menjadi duta merek yang tak ternilai harganya.
Apa yang dilakukan Lowes Foods, diyakini Lindstrom, karena mereka telah memulainya dengan menggunakan small data sebagai informasi awal, kemudian mengkombinasikannya dengan big data, untuk selanjutnya diikuti dengan mengamati pola perilaku, mengidentifikasi kebutuhan, dan menempatkan strategi online dan offline dengan cara yang benar.
"Cara terbaik untuk membaca trend adalah dengan mengkombinasikan logika atau big data dengan intuisi atau small data. Bahkan, melalui small data, setiap orang dapat mengeksplor kebutuhan yang mereka tidak ketahui dan terlihat tidak signifikan," ujar Lindstrom.
Ia pun mengingatkan bahwa big data--yang sekarang sedang marak--tidak bisa berdiri sendiri. Sebab, big data terdiri dari small data yang mengandung informasi yang lebih penting. Big data bergantung pada korelasi, sedangkan small data justru mampu menemukan alasan.