Menyimak Serunya Pilkada DKI Jakarta

Inilah Pemilihan Umum Kepada Daerah paling hot sepanjang masa. Tidak hanya melibatkan stakeholders yang berkepentingan langsung dalam pemilihan, namun juga menarik perhatian seluruh warga bangsa ini. Tulisan ini hanya potret kecil dari hiruk pikuk masa kampanye yang menunjukkan strategi targeting, positioning, dan branding masing-masing pasangan calon.

Jum’at (13/1/2017) malam, KPUD DKI Jakarta menggelar debat Pilkada DKI Jakarta di Hotel Bidakara. Ini menjadi semacam arena puncak tanding pamor antara tiga kontestan Pilkada: Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni (Pasangan Calon/Paslon Nomor Urut 1), Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat (Paslon Nomor 2), serta Anies Baswedan – Sandiago Salahudin Uno (Paslon Nomor 3).

Menyitir pendapat akademisi Public Relations (PR) Bambang Sumaryanto dalam Majalah MIX dua edisi lalu, inilah panggung yang diperlukan oleh para kandidat untuk melakukan pendekatan akademis dalam branding politisi sesuai teori Philip Sheib. Pendekatan akademis, jelas Bambang, umumnya dipilih untuk situasi dimana para pemilih merupakan pemilih rasional. Mereka mencari orang yang dianggap memiliki kemampuan dan kapasitas dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi masyarakat.

Kehadiran sosok Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menjadi momen yang paling ditunggu publik dalam debat pertama yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Pasalnya, risingstar di dunia politik ini, seperti diungkapkan oleh pengamat komunikasi politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina, Jakarta, Agus menyandang brand Yudhoyono, “merek” yang kerap menjadi perbincangan di istana. Penampilan Agus menjadi semakin ditunggu karena dalam ada dua debat tidak resmi yang dilakukan Kompas TV dan Net TV, pasangan Agus-Sylviana tidak hadir. Menurut Hendri, publik berharap penampilan perdana pasangan ini akan memberi kejutan.

Dalam debat tersebut, para pasangan memberikan respon secara akademisi terhadap beberapa permasalahan ibukota yang dilontarkan moderator Ira Koesno. Dimulai dengan pemaparan visi dan misi, Agus menegaskan keinginannya untuk menjadikan Jakarta adil dan sejahtera serta berkomitmen mengatasi semua permasalahan masyarakat yang semakin maju. Sementara Ahok berusaha meyakinkan bahwa yang harus dibereskan pertama kali adalah birokrasi dengan pejabat yang rekam jejaknya jelas, bersih, transparan dan profesional. Anies pada sesi selanjutnya menekankan bahwa integritas bukan sekadar jujur, tapi juga berpihak kepada kepentingan publik, menjalankan dengan benar dan selalu mengikuti tata kelola yang baik. “Integritas adalah keberpihakan kepada nilai,” ujarnya.

Secara umum, Teguh Dartanto, Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEB UI justru mengatakan agak kecewa dengan debat malam itu karena tidak memunculkan inovasi atau hal-hal baru yang mampu menyelesaikan masalah Jakarta. Pada program Paslon pertama (Agus-Sylvi), Teguh melihat Agus hanya mencoba replikasi pola yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (ayah Agus), tetapi kurang memperhatikan apa yang sudah dilakukan oleh incumbent. Mereka mencoba mereplikasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, dan bantuan bergulir keUsaha Mikro Kecil dan Menengah, model dana desa di level RT/RW, orientasi pertumbuhan inklusif, penciptaan lapangan kerja. Paslon kedua (Ahok-Djarot) ia sebut cenderung mekanistis dan menunjukan sebagai pemimpin yang target-oriented. Mereka lebih menekankan pada perbaikan governance namun tanpa ada inovasi baru. Pasangan petahana ini cenderung lebih menjual apa yang sudah dicapai, sedang dikerjakan dan kelanjutan program-program seperti jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi, jaminan sembako, modal usaha kecil.

Paslon ketiga (Anies-Sandi) sempat dilihat Teguh mencoba mendorong pola partisipatif dalam proses pembangunan walaupun cenderung utopis. Mereka fokus pada penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan umum melalui penciptaan pusat pertumbuhan/usaha di setiap kecamatan, memasukkan value chain dari industri rumahan ke industri besar. Namun mereka utopis-partisipatif, selalu bicara mengenai sesuatu yang seharusnya tapi lupa dengan realita di lapangan dan tidak menyelesaikan akar masalah.

“Dengan rumusan sederhana, Paslon ke-1 miskin inovasi, hanya replikasi dari apa yang pernah dilakukan oleh Presiden SBY; Paslon ke-2, kurang inovatif, karena tidak ada hal yang baru yang ditawarkan. Sementara Paslon ke-3, cukup inovatif tetapi utopis,” demikian penilaiannya seperti dicatat oleh BBC Indonesia.

Tak hanya tanggapan publik nasional, situs BBC Indonesia juga merekam cuitan Jan Ross Tapsell, dosen dan pengamat Asia Tenggara di Australian National University yang menonton debat malam itu. Anies, menurut penilaian Tapsell, nyaris tidak memiliki rincian rincian kebijakan spesifik, sementara Ahok justru melontarkan terlalu banyak rincian kebijakan berdasarkan pengalamannya sebagai petahana. Bagaimana dengan Agus? “Wears a nice shirt,” cuitnya jenaka.

Dari poskonya, tim pemenangan Pasangan Calon Agus-Sylviana mengerahkan partisipasi warga dengan menggelar acara nonton bersama debat kandidat di Posko Pemenangan mereka di Wisma Proklamasi 41, Jakarta. Bukan hanya satu tempat, nobar debat juga diadakan di sejumlah posko pemenangan Agus-Sylvi sesuai anjuran langsung Ketua Tim Pemenangan Nachrowi Ramli saat rapat internal dengan seluruh tim relawan.

 

Halaman Selanjutnya
****...
Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)