Teknologi, model bisnis baru, dan perubahan perilaku konsumen menjadi pendorong utama dalam dunia ritel. Perkembangan belanja online saat ini sebagian besar didorong karena harga yang terjangkau, kenyamanan berbelanja, dan produk yang dapat dikirim dengan cepat.
Aruman
Dalam beberapa tahun terakhir, indutsri ritel di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Sistem e-tailing Indonesia kini memasuki babak baru dengan masuknya beberapa pemain retail off-line ke dalam sistem on-line. Jaringan retail Alfmart misalnya kini memiliki saudara Alfacart.com, platform eCommerce yang merupakan transformasi dari Alfa Online - full marketplace yang menawarkan ragam jenis kebutuhan sehingga mereka kini bersaing dengan blibli.com, Tokopedia dan sebagainya.
Ini memberikan gambaran bahwa konsumen Indonesia makin memiliki banyak pilihan tempat belanja. Bila dulu hanya itu-itu saja pemainnya, kini pemainnya makin banyak dan beragam. Ini merupakann jawaban atas kondisi masih beragamnya pembelanja Indonesia. Beberapa konsumen suka berbelanja, namun trend menunjukkan bahwa mereka – terutama remaja -- menyukai belanja mobile.
Mereka membeli barang apa saja yang mereka ingin beli di mana saja melalui internet. E-trade atau kegiatan e-tailing memang agak tiba-tiba dan menciptakan kejutan di sektor ritel. Beberapa pemain ritel masih berkutat pada model off-line. Namun, banyak juga pengecer yang masuk ke konsep e-commerce dan memperlakukan dunia maya sebagai pasar dengan permintaan dan pasokan sendiri, dengan komunikasi dan pengiriman sistem sendiri.
Laporan ‘The Future of eCommerce: The Road to 2016’ dari Criteo dan dipublikasikan oleh Ovum, menemukan bahwa teknologi, model bisnis baru, dan perubahan perilaku konsumen menjadi pendorong utama dalam dunia ritel. Perkembangan belanja online saat ini sebagian besar didorong karena harga yang terjangkau, kenyamanan berbelanja, dan produk yang dapat dikirim dengan cepat.
Kini bisa dikatakan bahwa hampir semua nama-nama terkenal di bisnis ritel Indonesia telah mengembangkan kemampuan internet dan menggunakan e-trading sebagai perluasan dari kegiatan rutin mereka. Mereka berkomunikasi dengan pelanggan on line; mereka menerima pesanan secara on-line sehingga meningkatkan komunikasi dan mengurangi waktu tunggu untuk pengiriman. Menjadi bricker terkenal – mungkin ini bakal dilakukan Transmart-Carrefour -- dan menambahkan kemampuan mengklik merupakan perkembangan yang ritel tidak akan pernah berakhir. Namun demikian, tidaklah bijaksana bila saat ini meninggalkan secara total model temat belanja off-line.
Bagi banyak konsumen, pembelian pertama merupakan hal yang sangat penting dan cukup untuk dijadikan pegangan dalam membangun kepercayaan pada pembelian selanjutnya tanpa harus melihat dan merasakan setiap produk baru secara fisik. Sebagai contoh, para pengusaha ritel yang baru tentu akan mencoba perspektif online pure-play. Caranya dengan menawarkan hanya satu produk tertentu saja, sebelum akhirnya menghadirkan fitur pop-up yang dilengkapi dengan koleksi-koleksi untuk memfasilitasi penemuan dan uji coba produk. Zalora adalah salah satu contoh brand eCommerce terkemuka di Asia yang telah melakukannya.
Saat perusahaan ritel telah menjadi brand yang mapan dengan jumlah pelanggan yang signifikan, mereka perlu berkembang lebih jauh dari online-pure-play menjadi toko yang hadir secara fisik untuk meningkatkan mutu layanan konsumen. Ini berarti akan ada kemitraan dengan perusahaan lain yang bergerak di bisnis yang relevan yang kini banyak bermunculan, seperti misalnya model ‘click and collect’.
Saat ini, Inggris adalah pasar terdepan dalam model bisnis click-and-collect, seperti direpresentasikan oleh ASOS dan Boots, serta eBay dan Argos. Contoh lainnya adalah MatahariMall.com di Indonesia, yang mengombinasikan toko online dan toko fisik dalam menerapkan model ‘click and collect’. Ke depan, pengusaha ritel fisik akan terus mengurangi jumlah toko fisik yang mereka miliki dan menggantikannya dengan toko online. Sebaliknya, pengusaha ritel online akan berinvestasi lebih banyak untuk membangun keberadaan mereka secara fisik. Dengan begitu, model bisnis pure-play akan hilang sama sekali.
Sebuah analisis pembelanja Indonesia baru-baru masih menunjukan kegagalan pengelola pengecer mendapatkan loyalitas pelanggan mereka di Indonesia. Survei yang dilakukan Snapcart September-November tahun lalu masih menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia membeli bahan makanan mereka dari beberapa saluran. Ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia tidak bisa didikte peritel untuk loyal pada satu saluran, apalagi peritel. Bayangkan 76% dari pembelanja itu, membeli bahan makanan mereka melalui dua atau lebih toko, hanya 24% dari pengguna yang disurvei yang setia pada rantai tunggal. Kesetiaan pada satu saluran itu juga bukan berarti pada satu merek peritel.
Mereka masih suka belanja off-line, namun kemudahan untuk menjangkau lokasi toko mereka berbelanja menjadi faktor yang sangat penting. Infrastruktur yang buruk di kota-kota seperti Jakarta sebagai kota yang masih memiliki persoalan kemacetan lalu lintas, meninggalkan pembeli dalam posisi tidak memiliki pilihan selain meninginginkan belanja yang praktis dan memprioritaskan kenyamanan. Sebagai contoh, jika seorang pembelanja di rumah, dia mungkin memilih untuk berbelanja di minimarket yang dekat dengan rumahnya. Demikian pula jika pembelanja yang sama berada di kantornya, belanja di supermarket yang terletak di mal yang sama dengan kantornya menjadi pilihan untuk berbelanja dengan lebih nyaman.
Pendorong utama untuk pergeseran pembeli Indonesia dari hipermarket dan supermarket ke minimarket mungkin hanya karena menawarkan kenyamanan minimarket. Sebab bagaimana pun kini gap harga antara hypermarket dan mini market makin sempit. Sementara persepsi terhadap harga mungkin tidak memainkan peran penting dalam pergeseran, tingkat diskon dalam minimarket dapat berkontribusi sebagai umpan penting bagi pembeli untuk melakukan pembelian di toko mereka. Selanjutnya, ketika melihat persentase produk dipromosikan ke total barang atau produk yang dibelinya, hanya 10% dari total barang atau produk yang dibeli adalah produk yang didiskon. Ini membuktikan bahwa minimarket adalah pilihan bagi konsumen sebagai saluran.
Indonesia kini memiliki populasi kelas menengah yang tinggi. Namun demikian pembelanja Indonesia Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga. Survey Snapcart tadi menunjukkan bahwa 35,9% pembelanja yang disurvei, berbelanja di outlet tertentu karena promosi dan diskon yang terus ditawarkan. Berbagai tingkat diskon dan berbagai bentuk promosi mendorong pembelanja untuk bereksperimen pada saluran yang berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk mengatasi persoalan itu, beberapa peritel mengeluarkan kartu keanggotaan. Namun demikian, pengguna yang disurvei berbelanja di toko di mana mereka memiliki karti keanggotaan terutama karena mereka mendapatkan poin keanggotaan (24% dari pengguna) serta diskon (12%) melalui kartu keanggotaan mereka. Meskipun demikian, walau mereka mendapatkan iming-iming menarik melalui kartu diskon, pengguna yang disurvei sebagian besar masih sensitif terhadap harga dan tidak setia ke satu toko. Promosi masih menjadi faktor kunci. Sekitar 36% repsonden menyatakan masih akan berbelanja di toko lain untuk mendapatkan keuntungan dari barang yang dipromosikan.
Selain itu, setengah dari pengguna yang disurvei yang tidak berminat memiliki kartu keanggotaan di tempat mereka berbelanja dalam tiga bulan terakhir, karena mereka tidak melihat kartu keanggotaan sebagai sesuatu yang penting. Mereka beranggapan bahwa mereka selalu dapat penawaran promo dari peritel lain dengan iming-iming yang lebih besar. Selain itu, mereka berbelanja juga di tempat yang memberikan diskon paling tinggi. Temuan ini seakan menekankan kembali kecenderungan pragmatis pembeli Indonesia. Dengan kata lain, strategi loyalitas pemasaran yang bekerja di Barat tidak mudah bekerja di Indonesia kecuali mereka memberikan manfaat yang nyata.
Dengan demikian, bagian akhir gerakan revolusi ritel ini masih tetap off-line (mortar) namun tidak mengabaikan klik. Pelanggan hari ini menuntut akses ke merek favorit mereka di beberapa saluran. Pembelanja saat ini masih suka menyentuh barang yang ingin mereka beli dan merasakan pengalaman suatu produk sebelum mereka membelinya. Namun demikian mereka menghargai informasi lebih lanjut, terutama tentang harga. Inilah sebabnya mengapa kombinasi belanja on-line dan off-line masih akan terus berlangsung (Conor 2014).
Perkembangan ini masih menyisakan bahasan tentang nasib dan kemampuan e-commerce pengecer kecil yang masih agak di belakang. Menghadapi raksasa ritel, peritel kecil sangat membutuhkan kemahiran dan kemampuan dalam memanfaatkan informasi yang dihasilkan internet dan e-market. Sehingga agenda ke depan adalah bagaimana menyusun kebijakan untuk membangun sinergitas antara peritel kecil dan peritel besar, baik yang fisik maupun yang on-line.