Sebagai pendatang anyar di pasar Video on Demand di Indonesia, Hooq perlu melancarkan berbagai strategi untuk memperoleh pelanggan baru sekaligus membangun engagement agar tingkat konsumsi Hooq atau lama waktu menonton di Hooq terus meningkat (extend durasi). Salah satu caranya adalah dengan merilis produk webseries orisinal “Brata” pada awal September ini. Serial enam episode ber-genreaction-romantic itu merupakan produksi bersama Telkomsel dengan menghadirkan Oka Antara sebagai pemeran utama. Sebelumnya, Oka sudah bermain di film “Killers”, “Sang Penari”, “The Raid 2”, dan “Foxtrot 6” yang segera tayang. Ia juga peraih penghargaan Indonesia Movie Awards 2017 sebagai Aktor Terbaik.
Keputusan memproduksi sendiri konten serial lokal, menurut Country Managing Director Hooq Indonesia Guntur Siboro, berangkat dari insight yang diperoleh Hooq terkait penonton di Indonesia. “Berdasarkan data yang kami himpun, di Indonesia yang kurang adalah konten lokal jenis serial. Selama ini, serial hanya ada di free to air. Dan, kualitas serial di free to air adalah kualitas kejar tayang.”
“Oleh karena itu, untuk mengisi konten lokal yang kurang di Indonesia dengan kualitas film layar lebar, maka kami produksi dan hadirkan serial ‘Brata’ dengan enam episode,” jelas Guntur, sambil menambahkan bahwa dirilisnya serial ‘Brata’ juga untuk memenuhi kebutuhan pelanggan Hooq di Indonesia, dimana 50%-60% memilih menonton konten lokal.
Diakui Guntur, pemanfaatan small data juga pernah dilakukan Hooq saat pertama kali akan hadir di Indonesia. Kala itu, memang Hooq sudah hadir di tiga negara dan sudah ada data riset yang kami miliki dari profil penonton di tiga negara tersebut. Akan tetapi, karakter penonton di tiga negara tersebut tentu saja berbeda dengan di Indonesia. “Akhirnya, untuk masuk ke pasar Indonesia, kami melakukan FGD, studi etnografi, dan mewawancarai mereka tentang konten yang ingin mereka tonton, cara bayar, perilaku orang menonton seperti apa, dan sebagainya,” paparnya kepada MIX.
Hasil studi kualitatif dengan etnografi menunjukkan bahwa karakter orang Indonesia agak menarik. Diceritakan Guntur, ketika mereka ditanya tentang apa yang mereka tonton, jawabannya film asing. “Akan tetapi, begitu studi etnografi selama tiga hari dilakukan dengan cara orang kami menemani mereka di rumah, maka pada hari pertama mereka masih jaim, dengan menonton film Hollywood. Selanjutnya, di hari kedua, di mana mereka menganggap orang kami adalah teman alias bukan interviewer, mereka langsung kembali ke kebiasaan asal, dengan menonton konten lokal,” ucapnya.
Kesimpulan hasil studi etnografi dan diperkuat dengan FGD (Focus Group Discussion) menunjukkan bahwa ternyata kebiasaan orang Indonesia dalam menonton TV tidak berbeda dengan mengkonsumsi fast food. Artinya, ketika dittanya tentang tren, mereka maunya makan di restoran fast food, seperti Pizza Hutt, McDonald’s, dan sebagainya. Namun, setelah makan di McDonald’s misalnya, mereka tetap akan makan nasi dan menu lokal lainnya begitu sampai rumah. “Kebiasaan itu sama persis dengan kebiasaan entertainment. Mereka tetap menonton film asing, namun mereka merasa paling nyaman ketika nonton film lokal. Definisi film lokal di sini, bukan hanya film Indonesia ya, tetapi juga film Asia yang memiliki kemiripan budaya. Seperti film Korea dan Jepang,” ungkapnya.
Saat ini, lanjutnya, film lokal sudah menjadi tren, persis dengan kian bergairahnya industri perfilman nasional. “Sekarang orang Indonesia sudah tidak malu untuk nonton film lokal. Preferensi menonton sudah bergeser, meskipun saat ini orang tetap tidak meninggalkan film Hollywood. Hal itu terbukti karena 50%-60% pelanggan Hooq menonton film lokal. Bukti lainnya adalah ketika dua minggu lalu kami tidak punya konten Indonesia, tingkat menonton konsumen di Hooq menurun. Jadi, satu minggu sebelum webseries ‘Brata’, kami memang stop untuk tayangan lokal. Hasilnya, tingkat kepemirsaan kami menurun,” ujar Guntur.
Contoh lain dari pemanfaatan small data adalah ketika Hooq mengganti user interface atau tampilan Apps-nya dengan format scrolling ke bawah. “Kami perhatikan kebiasaan konsumen di smartphone mereka, terutama di media sosial seperti Facebook dan Twitter, ternyata cara mereka mencari informasi terbaru dengan cara scrolling ke bawah hanya dengan satu tangan. Untuk itu, user interface Apps Hooq kami ubah dengan model scrolling ke bawah. Hal itu seperti itu hanya bisa kami tangkap lewat small data, tidak bisa kami dapatkan dari big data via digital tracking,” paparnya.
Hal lain yang juga datang dari small data adalah mencari tahu mengapa penonton di Indonesia tidak mau men-download Apps Hooq, meskipun mereka ditawarkan gratis jika menggunakan Telkomsel. Hasilnya, bukan karena mereka khawatir terpotong paket data. Akan tetapi, karena mereka malas mengunduh Apps lantaran smartphone mereka sudah penuh dengan aneka Apps lainnya. Bahkan, ketika mereka dapat tawaran Hooq gratis, mereka belum mau mengunduh karena belum ada WiFi. Begitu ada WiFi gratis, mereka lupa mengunduh Apps Hooq.
“Itu adalah perilaku yang kami tangkap dari small data. Dari sana, kami pun akhirnya memanfaatkan PWA (Progressive Web Apps) yang dimiliki Google. Misalnya, kalau dapat offering dari Hooq di email, mereka tidak perlu lagi men-down load Apps Hooq, mereka bisa langsung menonton hanya dengan menekan atau meng-klik tombil play di sana. Dengan demikian, mereka bisa langsung menonton konten film yang kami share itu, lewat tekonologi PWA. Teknologi PWA itu sudah kami luncurkan sejak dua bulan lalu. Hasilnya, banyak pengguna yang meng-klik play di Hooq yang berbasis PWA,” Guntur menjelaskan.
Namun demikian, lanjutnya, Hooq tidak melulu menggunakan smalldata dalam mencipatkan value bagi konsumennya. “Jumlah pelanggan yang sudah mencapai jutaan membuat kami harus memanfaatkan big data melalui digitaltracking dalam menganalisisnya. Mulai dari kebiasaan penonton menonton konten seperti apa, tingginya menonton di jam berapa serta hari apa, dan sebagainya, itu dapat kami lakukan dari digitaltracking. Sementara itu, jika ada hal-hal lain yang tidak dapat ditangkap melalui big data, maka kami akan mempertajam atau memperdalamnya lewat small data,” Guntur menutup.