Masih ingat layanan Go-Date pada April Mop lalu? Ini adalah konten kampanye Go-Jek yang mendulang Word of Mouth (WOM) di dunia maya. Masih ada konten-konten marketing lainnya yang juga menciptakan viral Go-Jek. Bagaimana Go-Jek mengembangkan strategi WOM-nya?
“Banyak sekali dari pengguna kami yang mengalami kemacetan cinta. Seusai denga misi Go-Jek, kami ingin men-disrupt kegalauan generasi muda. Kami memperkenalkan Go-Date, solusi kemacetan hati Anda. Dengan Go-Date, Anda dapat memiliki pasangan sementara yang memenuhi kriteria Anda, untuk menghindari situasi-situasi yang canggung. Misalkan, Anda dipanggil untuk berkumpul bersama teman-teman Anda. Dan, mantan Anda juga ikut dengan membawa pasangan baru. Tim developer kami bekerja keras untuk membuat layanan terbaik Go-Date,” demikian cuplikan pernyataan Nadiem Makarim, CEO Go-Jek, dan Piotr Jakubowski, CMO Gojek, pada video kampanye Go-Date yang tayang pada April 2016 lalu.
Kampanye Layanan Go-Date ini menarik perhatian para netizen di Tanah Air. Tak kurang dari 36.320 orang telah menonton video ini lewat channel YouTube dan mendulang viral di dunia maya. Tapi tunggu dulu... jangan bersemangat mencoba karena fitur ini ternyata cuma hoax, dibuat Go-Jek dalam rangka menciptakan Word of Mouth (WOM). Menurut Piotr, fitur layanan yang menjadi buah bibir itu sengaja diciptakan untuk menyambut April Mop dan ternyata berhasil memancing viral. “Kampanye tersebut menciptakan viral di Facebook, dengan tingkat share mencapai lebih dari 15.000,” ceritanya.
Perusahaan jasa transportasi berbasis mobileapplication (mobile apps) ini sejak awal memang mengandalkan strategi getok tular atau Word of Mouth (WOM) lewat media sosial dalam membangun brand awareness-nya. Selain kampanye Go-Date pada April Mop 2016, kampanye lainnya Go-Jek adalah “Ramadhan Bersama Go-Jek” dan “Untuk Bangsaku pada Hari Raya Kemerdekaan RI.” Kampanye-kampanye Go-Jek di media sosial ini objektifnya biasanya untuk brand engagement dan product education.
Kotler & Keller (2007) menyebutkan bahwa Word of Mouth Communication (WOM) atau komunikasi dari mulut ke mulut adalah proses komunikasi inter personal unuk memberikan informasi atau rekomendasi mengenai suatu produk atau jasa. Kotler & Keller juga menyebutkan bahwa komunikasi personal yang berupa ucapan atau perkataan dari mulut ke mulut (word of mouth) ini dapat menjadi metode promosi yang efektif. WOM, katanya, tidak membutuhkan biaya yang besar. Pelanggan yang puas akan memberikan testimoni yang bisa menjadi rujukan atau referensi konsumen lainnya.
Namun demikian, Piotr menekankan bahwa sukses Go-Jek bukan semata karena kampanye komunikasi WOM. Go-Jek, katanya, masuk ke pasar dengan bisnis model baru yang menawarkan solusi bagi masalah masyarakat di Kota Jakarta maupun kota-kota besar lainnya—yakni masalah terkait kemacetan dan waktu.
Semua layanan Go-Jek (Go-Ride, Go-Car, Go-Box, Go-Clean, Go-Mart, Go-Glam, Go-Massage, Go-Food, Go-Send, Go-Pulsa, G-Tix, Go-Auto, Go-Med, dan Go-Busway) diklaim Piotr dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat di kota besar. “Ini yang menjadi kunci sukses Go-Jek,” tegasnya.
Meski demikian, toh Go-Jek tetap membutuhkan komunikasi pemasaran yang berkelanjutan, supaya dapat memelihara respon positif pasar pada masa penetrasi. Apalagi, Grab, kompetitor Go-Jek yang muncul kemudian, tak tinggal diam. Mereka juga massif merangsek pasar Tanah Air. Perusahaan asal Malaysia itu belakangan sangat aktif agresif berkampanye di media sosial dan media digital secara umum.
“Kami juga sadar, kampanye lewat media digital juga sudah clutter. Hampir semua brand memanfaatkan media digital untuk channelmarketing komunikasi mereka. Oleh karena itu, butuh strategi jitu untuk dapat mencuri perhatian netizen,” jelas Piotr.
Karena itulah, Piotr menekankan pentingnya strategi eksekusi WOM agar dapat menyedot perhatian target audience-nya. Menurut Piotr, kunci utamanya adalah cerita dan placement. “Ada dua konten cerita yang kami jadikan basis awal pembuatan kreatif kampanye Go-Jek agar berakhir WOM,” katanya. Pertama adalah cerita otentik yang berasal dari para driver. Kedua adalah cerita yang mengandung unsur fun dan emotional. “Pada kampanye 'Untuk Bangsaku' misalnya, kami menyajikan cerita yang inspiratif dan emosional dari tujuh driver Go-Jek,” urainya.
Selain cerita, menurutnya, placement juga menjadi kunci penentu dari keberhasilan kampanye di media digital dan social media. Placement menjadi penting, karena masing-masing social media memiliki karakter dan pemirsa yang berbeda. Cara pemirsa melihat Youtube tentu berbeda dengan Facebook maupun Instagram, begitu juga sebaliknya. “Dengan mempertimbangkan perbedaan karakter dari masing-masing platformsocial media, maka kami selanjutnya menentukan strategi placement untuk kampanye Go-Jek di media digital,” Piotr menambahkan.
Tak hanya kampanye digital yang dirancang dan dibuat khusus semacam kampanye Go-Date pada April Mop. Go-Jek juga mendorong viral berbasis user generate content. Tak jarang, kata Piotr, pelanggan Go-Jek “menciptakan” sendiri konten yang bisa di-viral seperti cerita lucu seorang pelanggan yang terbiasa dibonceng motor oleh suaminya saat pergi bekerja. Suatu saat, perempuan tersebut diantar driver Go-Jek ke tempat kerjanya. Nah, ritual mencium tangan suami selepas turun dari sepeda motor ini rupanya tidak terlewatkan. Walhasil, alih-alih mencium tangan suami, sang pelanggan malah mencium tangan driver Go-Jek. Meme tentang pelanggan yang mencium tangan driver Go-Jek ini menjadi viral di mobile messaging seperti Whats Apps.
Meski menjadikan kampanye di media digital sebagai ujung tombak, Piotr menegaskan bahwa dia tidak menafikan media tradisional. Menurutnya, Go-Jek saat ini juga menggunakan billboard dan media cetak—lewat format advetorial—untuk berkampanye. Aktivitas below the line juga dilakukan untuk engage dengan khalayak sasaran, yaitu melalui pameran di Jakarta Fair dan event musik Java Jazz. “Namun, kami tidak dapat menyebutkan berapa besar porsi belanja marketing komunikasi Go-Jek di media digital dan tradisional,” tutur Piotr. Dia juga menambahkan bahwa craft—mulai dari ide, content, hingga script-nya—untuk setiap kampanye dilakukan sendiri oleh tim internal Go-Jek.