THE FUTURE OF CONSUMER INSIGHTS

bp_consumerinsight_graphic

Semua jenis metodologi riset sejatinya sanggup memberikan insights. Namun beberapa lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Karena itu, untuk mendapatkan consumer insights, sebaiknya tidak menggunakan metode tunggal. Metode consumer immersion ala Unilever barangkali patut dicoba.

Sepuluh tahun lalu Unilever, perusahaan multinasional yang dominan menguasai pasar toiletries Indonesia, masih menggunakan metode riset yang yang formulated dan metodik untuk mendapatkan consumer insights. Sekarang Unilever menggunakan metode yang diperkenalkan sebagai consumer immersion untuk mendapatkan consumer insights.
Metode ini kelihatannya masih akan digunakan dalam beberapa tahun ke depan. “Trennya di luar negeri adalah melihat dan memperhatikan apa yang consumer lakukan alias tidak sekadar bertanya ke konsumen,” tutur Ira Noviarti, Marketing Manager Skin Care Unilever.
Metode bertanya seperti yang dilakukan dalam Focus Group Discussion (FGD), katanya, kini sudah agak ditinggalkan karena untuk obyektif yang membutuhkan insights lebih dalam, FGD saja tidak cukup. “Sekarang kami melakukannya dengan metode consumer immersion atau one on one, tidak sekadar FGD dan menyebar kuesioner,” ujarnya.
Consumer immersion, katanya, adalah metode menggali insights dari konsumen dengan cara melihat atau memperhatikan habit dan perilaku mereka. Metode ini diyakini Ira dapat memberikan insights yang lebih dalam tentang kebutuhan, keinginan, cara konsumsi, dan lain sebagainya tentang konsumen. Karena dengan cara bertanya saja—seperti yang sebelumnya lebih sering digunakan, menurut Ira, insights tidak tergali lebih dalam. “Bisa saja konsumen malas mengisi kuesioner atau menjawab pertanyaan yang diajukan dalam FGD.” Tapi dengan consumer immersion, kita akan menjadi lebih dekat dan terkoneksi dengan konsumen, katanya. “Hasilnya akan berbeda.”
Catherine Eddy, Direktur Eksekutif dari Customised Research Service ACNielsen Indonesia mengatakan consumer insights tidak akan tertangkap hanya dalam pengamatan semalam. “Bahkan kadangkala penemuan ini sangat memakan waktu dan mahal—namun pasti sangat berharga. Jadi merupakan tantangan bekerja dengan klien untuk memahami dengan seksama—dan seringkali tidak dalam waktu singkat—untuk mendapatkan insight yang lebih baik,” tutur pakar riset pemasaran kualitatif dan kuantitatif ini.
Dalam pandangan wanita Australia ini, semua metodologi riset sejatinya sanggup memberikan insights. Namun, katanya, beberapa lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Metode observasi, lanjutnya, biasanya menjadi salah satu metode yang dapat memberikan informasi mengenai bagaimana konsumen bertingkah laku sewajarnya (behave in their cave). “Tetapi metode ini dapat menjadi tidak tepat karena dengan memiliki seorang pegamat dalam rumah, situasi akan segera menjadi tidak normal. Kita dapat merekam para konsumen dalam film, namun lagi-lagi jika mereka sadar bahwa mereka sedang direkam, mereka mungkin akan menyesuaikan tingkah laku mereka dengan norma sosial. Atau mereka akan berusaha memenuhi persepsi mereka sendiri akan tingkah laku normal,” ujar Eddy.
Bahkan jika konsumen tidak sadar mereka sedang diobservasi lewat rekaman video (difilmkan), menurut Eddy, periset tidak akan selalu mendapatkan gambaran penuh dari suatu situasi. Padahal, katanya, dokumentasi film dibuat untuk mendapatkan insights pada situasi yang sewajar mungkin, sehingga kita dapat mengetahui tingkah laku yang sebenarnya, bukan rekayasa oleh situasi.
Oleh karena itu, katanya, seringkali mengkombinasikan film dengan observasi, kegiatan di dalam dan di luar rumah, menjadi pilihan untuk memperoleh insights. Demikian pula dengan focus group, akan melengkapi upaya untuk mendapatkan consumer insights.
Eddy juga mengatakan bahwa bisa jadi consumer insights tidak selalu didapat dari konsumen langsung. “Tetapi dari sejumlah sumber. Berbicara kepada tim sales kadangkala sangat menakjubkan hasilnya.” Orang sales, katanya, biasa berhadapan dengan para peritel dan para pelanggan sehingga mereka seringkali mengetahui suatu informasi tentang consumer insights untuk pertama kalinya.
Observasi semacam inilah yang kini juga mulai dilakukan oleh ACNielsen, perusahaan riset pemasaran yang sangat terkenal dengan riset kuantitatifnya, di mana Eddy kini bekerja. “Para periset meluangkan waktu di lingkungan eksternal dengan mengamati para konsumen, melihat bagaimana mereka bertingkah laku, bagaimana mereka berbelanja, bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan ritel dan bagaimana mereka mengkonsumsi. Kami berencana memperluas program ini ke universitas, tempat nongkrong dan tentu saja rumah.”
Menurut Eddy, ACNielsen percaya bahwa investasi pada pengembangan riset serupa ini sangatlah berharga. “Walaupun tidak langsung menghasilkan, ini akan membantu kami menjadi lebih peka dan tanggap terhadap perilaku konsumen.”
Eddy menekankan bahwa tidak ada metode tunggal yang ideal untuk mendapatkan consumer insights. “Hal ini bergantung pada jenis informasi yang Anda inginkan. Kadangkala kita juga membutuhkan kombinasi metodologi. Atau bisa juga Anda mengembangkan consumer insight lewat pembicaraan dengan teman atau rekan kerja.”
Dia menegaskan bahwa riset adalah suatu proses yang berkesinambungan seperti halnya metodologi riset yang konstan dikembangkan seiring dengan munculnya teori atau teknologi baru yang memungkinkan kita untuk bekerja dengan para konsumen dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin.

Mengapa Consumer Insights?
Dengan mengetahui consumer insights, para pemasar akan melihat tren baru yang muncul (emerging) yang dapat membuat para pemasar tetap berada selangkah lebih depan dari yang lainnya, tutur Catherine Eddy, Direktur Eksekutif Customised Research Service ACNielsen Indonesia.
Insights juga berguna untuk new product development karena, katanya, dapat memberitahu kebutuhan konsumen yang berkembang atau inovasi yang dibutuhkan—yang mungkin saat ini belum ada di pasar. “Berarti consumer insights bisa memberikan peluang kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen untuk pertama kalinya.”
Pakar yang sudah malang melintang di dunia riset pemasaran lebih dari 15 tahun ini menegaskan bahwa consumer insights adalah tentang bagaimana membuat konsumen membantu kita dalam memahami kebutuhan mereka yang berkembang, serta bekerja sama dengan perusahaan untuk mengembangkan produk yang memenuhi kebutuhan mereka. “Consumer insights umumnya untuk membantu marketing memahami bagaimana kebutuhan atau keinginan konsumen yang akan berkembang dalam waktu singkat.”
Salah satu contoh insights yang dikembangkan berdasarkan observasi dalam rumah—terhadap penghuni rumah di Amerika Selatan—oleh Procter & Gamble (P&G), menurut Eddy, telah menghasilkan sebuah produk sapu pembersih yang dapat mencapai sudut-sudut yang tinggi. “Konsumen mengembangkan solusi mereka sendiri untuk mencapai tempat itu dengan mengamati cara bersih-bersih yang dilakukan.” Insights dari konsumen itu, kata Eddy, kemudian dikembangkan oleh P&G menjadi sebuah produk baru dengan lengan teleskopi dan bantalan pembersih yang dapat diganti.
Sementara itu, di Unilever—untuk semua merek, menurut Ira Noviarti, Marketing Manager Skin Care Unilever, riset dilakukan untuk mendapat consumer insights untuk semua aspek marketing mix, apakah itu untuk kepentingan brand activation, innovation brand, advertising, pricing, dan lain-lain. Contohnya untuk pricing, menurut Ira, Unilever mencari insights agar pricing cocok dengan produknya. “Misalnya, mengapa wanita tidak masalah untuk membeli lebih dari seribu rupiah, dua ribu rupiah, atau mungkin satu juta rupiah untuk face care product. Sepanjang produk bisa membuat dirinya merasa cantik, harga tidak menjadi masalah. Itu kan, pasti ada insights-nya,” katanya.
Untuk mendapatkan insights semacam itu, Unilever tidak segan turun ke mal setiap hari mencari tahu apa saja kegiatan wanita di sana dan apa saja yang mereka lihat. Bahkan, Unilever tidak segan “mencangkokkan” orang selama beberapa waktu di lingkungan tempat tinggal target konsumen. Program seperti itu, kata Ira, rutin dilakukan setiap tahun.
Contohnya, tim oral Unilever pada tahun lalu pergi ke kawasan rural. Mereka tinggal, bergaul, bahkan berperilaku seperti orang-orang rural yang didatangi selama satu minggu. “Di sana mereka bisa melihat, memperhatikan, merasakan apa yang rural people itu rasakan.” Atau di grup lain, tim Unilever melakukan consumer connection to café. “Tim kami duduk saja di café dari pagi hingga sore atau seharian untuk melihat dan memperhatikan habits dan perilaku konsumen di sana.”
Contoh lain, dalam mengembangkan konsep komunikasi Dove yang mengusung tema “Real Beauty,” menurut Ira, Unilever mencoba mencari insights tentang apa sih sebenarnya secara situasional ataupun emotional, battle yang dihadapi oleh wanita, khususnya yang berumur 25-35 tahun (target market Dove), sehari-harinya.
Dari consumer insights yang didapat, menrutu Ira, Dove kemudian meredefinisikan arti beauty (cantik) yang biasa dipakai oleh wanita di sunia. “Definisi beauty yang dipakai di dunia benar-benar hanya cantik dari sisi fisiknya saja, misalnya hidung mancung, kulit putih, dan lain sebagainya.” Nah, setelah mengetahui insights dari para wanita Indonesia, Dove kemudian berusaha mengubah pandangan wanita tentang arti cantik, yakni cantik adalah adalah juga your own unique personal beauty.
Maka kemudian keluarlah positioning Dove “Real Beauty.” Positioning ini mendapat respon yang sangat positif dari tidak hanya wanita di Indonesia, tapi juga di dunia. “Karena kami benar-benar mengubah definisi dari kecantikan itu sendiri, bahwa you are beauty as you are.” (MIX-11/Th.III/November 2006)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)