Pertama, Popularitas Program dan Content Semakin Tidak Linear. Lalu-lintas trend berputar semakin cepat dan tidak terarah. Umur trend atau sebuah thema (content) dalam ruang diskusi sosial semakin pendek. Beragamnya content yang beredar, mengakibatkan trend konten dan jenis program di media massa menjadi tidak bisa diramalkan arah dan popularitasnya. Oleh karena itu, para marketer yang menggunakan media massa dituntut untuk memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan-perubahan itu.
Kedua, Searching dan Review Semakin Menemukan Habitatnya. Jumlah konten yang diproduksi di internet semakin banyak dan fokus. Tersedianya konten yang massif itu, membuat proses pengambilan keputusan diproses dalam struktur yang efisien dan semakin akurat. Ruang publik yang menawarkan review semakin menjamur. Di sinilah para marketer tidak hanya dituntut untuk pandai berkomunikasi, tapi juga ditantang untuk punya integritas yang tinggi untuk menjaga kualitas produknya.
Ketiga, Kebutuhan akan Brand Ecosystem Semakin Tinggi. Brand-brand yang berinteraksi dengan konsumen semakin dituntut untuk bisa hidup secara sosial di antara manusia. Harus selalu relevan dan memiliki thema-thema (content) yang mampu bersaing. Bahkan, dengan thema-thema non komersial. Brand-brand dituntut untuk berhubungan dengan thema-thema sosial lain. Di sinilah, brand dituntut memperjelas ekosistemnya. Selain itu, menjalin hubungan dengan konsumen bukan hanya saat pembelian berlangsung, tapi lebih jauh dari itu. Para marketer dan perancang komunikasi dituntut untuk mampu memimpin orkestrasi dalam brand ekosistem dan melanggengkannya.
Keempat, Marketing Applications (Apps) dan Apps untuk Brand Semakin Naik. Keinginan para marketer untuk berhubungan terus-menerus dengan konsumen melahirkan Apps-Apps baru di dunia digital. Apps-Apps ini mewakili brand dan dirancang untuk mampu mempertahankan loyalitas. Di sinilah, persaingan bukan lagi terjadi pada level pembelian belaka, tapi juga terjadi pada perebutan relationship. Marketing Apps akan menjadi concern baru para marketer.
Kelima, Listening, Analisis, dan Conversation Management Semakin Naik. Populasi pengguna social media semakin tinggi dan semakin sah dijadikan patokan atau ukuran untuk menilai perilaku konsumen di pasar sesungguhnya. Di saat inilah, proses mendengar, menganalisis, dan mengatur conversation menjadi semakin strategis. Penggunaan tools-tools social listening dan conversation management menjadi concern penting para perancang pemasaran.
Keenam, Sensitivitas terhadap Iklan Semakin Tinggi. Kritisisme terhadap kemunculan iklan semakin tinggi. Bukan hanya di media media digital, tapi juga di media media konvensional. Kritisisme ini melebar, karena ruang sosial semakin kuat dan iklan tidak selalu berhasil menginterupsi pembicaraan sosial. Kenyataan ini membuat para pengelola brand dipaksa memposisikan brand dan mendorong brand-nya untuk masuk di ranah sosial secara subtle.
Ketujuh, Governance di Social Media Mulai Terbentuk. Rules, etika, dan kesadaran untuk menggunakan social media secara lebih beradab semakin menjadi perhatian. Kesadaran itu semakin meningkat, bukan hanya pada content politik, tapi juga akan merambah di informasi-informasi commercial lainnya.
Kedelapan, Media, Politik, dan Content Masih Mendominasi. Thema-thema politik yang menyangkut partai, parlemen, kabinet menteri, sampai persoalan presiden masih akan mendominasi media massa. Brand-brand besar yang telah menyelesaikan tugasnya untuk membedakan diri dengan para pesaingnya, harus menghadapi persaingan yang tak kalah sengitnya dengan konten-konten politik atau ekonomi yang bertebaran dan mulai disukai publik