Media sosial memang bak pisau bermata dua. Di satu sisi, ada banyak efek postif yang dapat diperoleh dari media sosial. Sebaliknya, tak sedikit pula efek negatif yang dihasilkan dari media sosial. Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) melalui sistem Trust+, saat ini dijumpai ada 800 ribu situs yang tercatat black list terkait konten negatif di dunia maya. Sementara itu, hanya ada 250 ribu situs yang berkonten positif.
Maraknya konten negatif—baik terkait hoax, pornografi, SARA, narkoba, perjudian, dan sebagainya—di Indonesia tak bisa lagi dipandang remeh. Paling anyar, sindikat Saracen yang telah diringkus kepolisian membuktikan bahwa konten negatif sudah menjadi bagian dari industri. Ibarat sebuah agensi, Saracen dapat memproduksi konten negatif sesuai kebutuhan sang pemesan, untuk kemudian mem-placement atau mem-posting-nya di social media agar menjadi viral.
Oleh karena itu, dikatakan Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, memiliki dua agenda besar untuk menghadirkan media sosial yang sehat dan berkonten positif. “Program pertama adalah sosialisasi atau literasi tentang media sosial ke semua segmen masyarakat. Program kedua adalah pembatasan akses dengan cara menghadirkan sistem Trust+. Kami berharap, ke depannya, konten-konten positif akan jauh lebih banyak dibandingkan konten negatif yang beredar di media sosial,” paparnya melalui video conference di saat seminar nasional yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) pada hari ini (28/8).
Diakui Rudiantara, memberangus konten negatif di media sosial bukan hanya tugas pemerintah. Namun, seluruh pihak dapat berpartisipasi menciptakan konten positif. “Selain pemerintah, masyarakat yang tergabung dalam komunitas, operator, hingga pemilik platform juga harus turut berpartisipasi sekaligus bersinergi dalam meredam konten negatif di media sosial,” lanjutnya.
Agung Harsoyo, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sekaligus Dosen Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung, menerangkan bahwa BRTI mendorong sinergi semua pihak dan lembaga dalam menanggulangi konten media sosial yang negatif. “Semua posting di media sosial walau digembok, dihapus, ataupun diubah menjadi lebih pribadi tetap punya jejak digital. Selain itu, konten negatif di media sosial sudah seperti industri di mana ada agensi yang khusus memproduksi sekaligus mem-placement konten negatif sesuai pesanan klien,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Project Policy Lead Twitter Indonesia Agung Yudha, Twitter berkomitmen meredam dan mencegah konten media sosial yang negatif. “Upaya yang kami lakukan antara lain dengan memberdayakan pengguna Twitter dengan menghadirkan Tools of System yang dapat melindungi akun mereka sendiri ataupun melaporkan konten negatif dari pengguna lain. Kami juga mendirikan Trust & Safety Consultant serta melakukan kampanye edukasi ke publik, antara lain lewat program #Twitter4Piece yang berkerja sama dengan Wahid Institute,” paparnya,
Selanjutnya, Head of Corporate Communications Group of Indosat Ooredoo Deva Rachman yang juga menjadi salah satu pembicara di seminar nasional bertajuk “Menagih Langkah Nyata Industri Telekomunikasi dan OTT Menghadapi Dampak Neatif Media Sosial”, mengatakan bahwa ada empat upaya yang dilakukan Indosat Ooredoo dalam meredam konten negatif di media sosial.
Pertama adalah menggelar workshop “Membangun Karakter Bangsa di Era Digital” di sekolah-sekolah. Kedua, mendukung gerakan #BijakBersosmed. Ketiga, mendukung berbagai inisiatif pemerintah dalam meredam konten negatif di media sosial. Ketiga, menjalin hubungan erat dengan para pemangku kepentingan di media sosial guna mendorong perilaku positif dalam bermedia sosial.