MIX.co.id - “Brand tidak disarankan untuk bereaksi secara frontal terhadap kasus-kasus boikot. Yang bisa dilakukan oleh brand adalah mengalihkan perhatian konsumen kepada hal-hal yang terlepas sama sekali dengan isu-isu yang dibawa oleh pemboikot. Jadi, brand lebih baik fokus pada narasi-narasi tentang functionalbenefit daripada tentang emotional ataupun self-expression benefit,” tutur Dr. Ardi Wirdamulia, satu dari sedikit doktor ilmu marketing Indonesia yang juga founder Lembaga riset pemasaran Prompt.
Ardi Wirda menjawab pertanyaan tentang bagaimana seharusnya brand bereaksi terhadap sentimen negatif yang berkaitan dengan perang di Timur Tengah yang masih berlangsung hingga saat ini. Seperti diketahui, eskalasi perang yang meningkat sejak 7 Oktober 2023 lalu yang menyebabkan meninggalnya lebih dari 13.000 warga Palestina—di mana sebagian besar adalah anak-anak dan Perempuan—karena dibombardir oleh Zionis Israel, telah menimbulkan kemarahan besar dunia. Genosida ini memicu seruan boikot merek-merek yang mendukung Israel dan atau terafiliasi dengan Israel.
Tak terkecuali, isu boikot ini juga menggema di sini, di negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan menyerukan aksi boikot merek-merek yang mendukung Israel di Indonesia. Menurut Ardi, jika yang dijadikan alasan pemboikotan adalah kekejaman Israel dan kejahatan kemanusiaan, maka apapun emotional benefit yang ingin ditonjolkan oleh brand yang diboikot, akan selalu di-troll (ditarik-tarik agar relevan dengan situasi terkini--Red). “Misal, P&G ingin bilang, produknya care terhadap ibu dan anak. Maka akan ada saja yang melakukan troll, ‘kalau care dengan ibu dan anak, ya tidak melakukan pemboman terhadap ibu dan anak di Palestina.’ Saya bisa sebutkan contoh-contoh yang lain. Akan selalu bisa di-troll soal hipokrisinya,” tutur Ardi.
Menurut Ardi, yang bisa dilakukan oleh brand yang terkena isu boikot saat ini adalah, mengalihkan perhatian konsumen dengan hal-hal yang terlepas sama sekali dengan isu-isu yang dibawa oleh pemboikot. “Jadi, brand lebih baik fokus pada narasi-narasi tentang functionalbenefit daripada tentang emotional ataupun self-expressionbenefit. Back to basic secara temporary. Dengan hanya bicara soal functional benefit, brand bisa menjauh dari troll semacam ini.” ujarnya sekali lagi menekankan.
Meski tidak menyebutkan nama-nama merek yang harus diboikot, seruan MUI ini berpengaruh kepada penjualan perusahaan yang mengusung merek-merek global yang berada di pasar Indonesia seperti Starbucks, Coca-Cola, Danone, McDonald’s, KFC, P&G, Unilever, Kraft, Mondelez, dan lain-lain yang nama mereknya berseliweran di media sosial tanpa terkendali.
Bagi brand global yang terkena krisis, situasi ini memunculkan tantangan untuk mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran isu boikot. Sementara bagi brand lokal, momentum ini bisa menjadi peluang untuk melakukan penetrasi pasar yang lebih luas dan meningkatkan brand awareness.
Ardi sependapat, jika memang dampak boikot ini memberikan peluang untuk penetrasi, maka tentu saja peluang itu harus dimanfaatkan. “Tapi saya termasuk orang yang berpegang bahwa brand itu harus selalu true terhadap esensinya, dan harus direncanakan untuk jangka panjang. Jadi menggunakan isu Israel-Palestina untuk keperluan branding, ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati,” ujarnya.
Bagi brands yang memang punya kedekatan identitas dengan Islam, tentu saja ini lebih mudah dilakukan tanpa harus keluar dari jati diri brand. “Tapi memanfaatkan isu ini secara kasar untuk keperluan penjualan tanpa melihat dampak jangka panjang terhadap makna brand tentu harus dihindarkan.”
Tentang peluang menangkap fenomena brandswitching, Ardi menilai dampak penurunan konsumsi terhadap brand yang diboikot tidak berarti brand switching terjadi. “Bisa saja itu merupakan fenomena stop buying saja. Jika ini yang terjadi, maka kita harus kembali menganalisis akar dari motivasi konsumsi. Produk-produk di mana konsumen bisa melakukan stop buying tanpa memerlukan penggantinya, umumnya adalah tertiary product di mana motivasi utamanya sudah jauh dari basic need. Ini adalah produk-produk yang basisnya indulgement/pemanjaan diri.” Jadi faktor ini selalu harus diperhitungkan dalam inducing brand switching, tutupnya.