News Trend

Benarkah Orang Cenderung Bohong saat Disurvei ?

Dari sejumlah mahasiswa dan alumni yang disurvei, kurang dari 2 persen yang mengatakan bahwa mereka lulus dengan IPK lebih rendah dari 2,5. Sementara data resmi menunjukkan bahwa mereka yang lulus dengan IPK lebih rendah dari 2.5 itu mencapai sekitar 11 persen. Demekian pula dengan data mereka menyumbang. Dari survey diperoleh data, tahun sebelumnya terdapat 44 persen responden mengatakan telah menyumbang ke universitas. Padahal, berdasarkan data resmi, hanya sekitar 28 persen yang melakukannya.

Berdasarkan temuan itu, Seth Stephens-Davidowitz, penulis buku Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Can Tell Us about Who We Really Are (Dey Street Books, 2017) membuat dugaan, jangan-jangan fenomena kebohongan itu bisa menjelaskan fenomena Pilpres Amerika Serikat 2016 silam. “…kemungkinan kebohongan memainkan peran dalam kegagalan jajak pendapat dalam memprediksi kemenangan Donald Trump 2016,” tulis Stephens-Davidowitz.

Tahun 2016, berbagai jajak pendapat selalu mengunggulkan Hillary Clinton, lawan Trump. Jajak pendapat, rata-rata, meremehkan dukungannya sekitar 2 poin persentase. Beberapa orang, kata Stephens-Davidowitz, mungkin merasa malu untuk mengatakan bahwa mereka berencana untuk mendukung Trump. Beberapa orang mungkin mengklaim mereka belum memutuskan kapan mereka benar-benar akan menjadi seperti Trump.

Mengapa orang memberi informasi yang salah pada survei yang bisa jadi mereka tidak diminta untuk menyebutkan namanya? Stephens-Davidowitz menanyakan soal itu ke Roger Tourangeau, seorang profesor penelitian emeritus di University of Michigan dan ahli terkemuka di dunia tentang bias keinginan sosial.

Menurut Tourangeau, setiap orang memiliki kecenderungan untuk memiliki apa yang disebut dengan “white lies.” Ada keengganan untuk mengakui kepada diri sendiri bahwa, katakanlah, “Anda adalah seorang mahasiswa yang putus asa,” kata Tourangeau. “Kebohongan putih” tersebut merupakan bagian penting dari masalah. Ini karena sekitar sepertiga waktunya, orang berbohong dalam kehidupan nyatanya. Kebiasaan itu kemudian terbawa saat orang disurvei.

Lalu ada kebiasaan aneh yang terkadang dimiliki oleh seseorang, yakni membohongi diri sendiri. “Berbohong kepada diri sendiri dapat menjelaskan mengapa begitu banyak orang mengatakan mereka di atas rata-rata.”

Semua orang berbohong, kata Stephens‑Davidowitz. Orang berbohong tentang berapa banyak minuman yang mereka miliki dalam perjalanan pulang. Mereka berbohong tentang seberapa sering mereka pergi ke gym, berapa harga sepatu baru mereka, apakah mereka membaca suatu buku. Mereka mengatakan sakit ketika tidak sakit. Mereka mengatakan bahwa mereka akan berhubungan ketika mereka tidak akan melakukannya.

Mereka mengatakan mereka mencintai Anda ketika mereka tidak menyukainya. Mereka mengatakan mereka bahagia saat berada di tempat pembuangan sampah. Mereka mengatakan mereka suka wanita ketika mereka sangat menyukai pria. Orang berbohong kepada teman. Mereka berbohong kepada bos. Mereka berbohong pada anak-anak. Mereka berbohong kepada orang tua. Mereka berbohong kepada dokter. Mereka berbohong kepada suami. Mereka berbohong kepada istri. Mereka membohongi diri sendiri. Dan mereka sangat yakin untuk melakukan survei.

Ada keinginan kuat yang melekat pada orang untuk membuat kesan yang baik pada orang asing yang mewawancarainya. “Seseorang yang terlihat seperti bibi favorit Anda masuk. . . Apakah Anda ingin memberi tahu bibi favorit Anda bahwa Anda menggunakan mariyuana bulan lalu? Apakah Anda ingin mengakui bahwa Anda tidak memberikan uang kepada almamater lama Anda yang baik?” kata Tourangeau.

Karena alasan ini, semakin impersonal kondisinya, semakin banyak orang yang jujur. Untuk memunculkan jawaban yang jujur, menurut Stephens-Davidowitz,survei internet lebih baik daripada survei melalui telepon, dan survey lewat telpon lebih baik daripada survei langsung.

Kenapa? Orang akan mengakui lebih banyak jika mereka sendirian daripada jika orang lain ada di ruangan bersama mereka. Lalu bagaimana dengan penelitian model focus discussion group (kelompok diskusi terarah) yang cenderung diadakan dalam satu ruangan dan masing-masing narasumber bisa melihat bahkan berinteraksi dengan narasumber lainnya?

Page: 1 2 3Lihat Semua

Edhy Aruman

Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Sebelum di Swa, Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen PR FISIP UI, dosen riset STIKOM LSPR Jakarta, dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.

Recent Posts

Lenzing Hadirkan Rangkaian Produk Home Textile dari Serat TENCEL

MIX.co.id - Merujuk National Sleep Foundation, kejadian insomnia di seluruh dunia mencapai 67% dari 1.508…

17 hours ago

Teknologi Jadi Pemicu Pertumbuhan Usaha Kecil di Indonesia

MIX.co.id - Survei Usaha Kecil Asia-Pasifik yang dirilis CPA Australia terhadap 4.222 pemilik atau manajer…

18 hours ago

Kosmepack dari J99 Corp. Tawarkan Solusi Packaging untuk Pelaku Industri Berskala Kecil hingga Besar

MIX.co.id - J99 Corp. memahami bahwa saat ini, persaingan usaha yang semakin ketat menjadi salah…

18 hours ago

Ninja Xpress Dorong UKM Optimalkan Strategi Affiliate Marketing

MIX.co.id – Affiliate marketing merupakan strategi pemasaran yang semakin banyak digunakan oleh para pelaku bisnis,…

1 day ago

Ramai-Ramai KOL Me-Review Menu Kolaborasi Kanzler x Cupbop & Chatime

MIX.co.id - Platform media sosial (medsos) TikTok dan Instagram, kini tengah diramaikan oleh konten kolaborasi…

1 day ago

Jepang Hadirkan Japan Pavilion di “The 10th World Water Forum 2024”

MIX.co.id - Tahun ini, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah “World Water Forum ke-10”. Forum air…

1 day ago