Saling gugat hak lisensi merek yang sudah memiliki pamor moncer kembali terjadi di Indonesia. Setelah merek Pierre Cardin diperebutkan oleh dua perusahaan—yakni antara desainer Pierre Cardin asal Prancis dengan pengusaha asal Jakarta—kini giliran merek Boboiboy diperebutkan hak lisensinya. Perebutan merek yang awareness-nya cukup tinggi di konsumen Indonesia semacam itu cukup dimaklumi. Mengingat, Indonesia dengan jumlah penduduknya yang mencapai 250 juta jiwa adalah pasar yang sangat potensial.
Jika hak lisensi Pierre Cardin di Indonesia dimenangkan oleh pengusaha Jakarta, maka brand Boboiboy yang hadir di Malaysia sejak tahun 2009 silam lewat serial animasi, akhirnya dimenangkan oleh perusahaan asalnya, Malaysia. Ya, DNA Production (DNA) dan Animonsta Malaysia sebagai pemegang hak lisensi Boboiboy, awalnya digugat oleh Sadabana Entertainmen—perusahaan lokal yang berkedudukan di Jakarta Pusat. Sadabana Entertainmen mengklaim bahwa mereka-lah pemilik hak atas merek Boboiboy di Indonesia.
“Sulit kami menerima kenyataan ini, bagaimana mungkin mereka bisa mendapatkan Hak atas merek yang didaftarkanya di Dirjen Haki (Hak Kekayaan Intelektual) Indonesia. Ternyata, telah terjadi double Sertifikat di Dirjen Haki. Sertifikat yang mereka miliki dikeluarkan pada tahun 2013, sementara kami talah mendaftar dan mendapat sertifikat yang sama di tahun 2012. Bahkan, mereka mengklaim mendafatarkan sebanyak 13 item dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 3 miliar kerugian materaial dan Rp15 miliar kerugian non material,” sesal Rina Novita, Direktur Utama DNA Production, di Jakarta, September ini.
Ditambahkan Nizam Razak, CEO Animonsta Studios Sdn Bhd, Malaysia, Boboiboy dibuat tahun 2009 dan peredaranya serta hal-hal yang menyangkut lisensi di Indonesia dikuasai oleh DNA Production. “Kami telah bekerja keras termasuk investasi yang mahal sekitar 2,5 juta Malaysian Ringgit (MYR) untuk mewujudkan ide kreatif Boboiboy. Kemudian, setelah popular, ada pihak lain dengan mudahnya mengklaim sebagai miliknya,” tegasnya.
Hal itu, imbuh Nizam, sangat mengkhawatirkan tidak hanya untuk pihak DNA maupun Animonsta, namun juga lebih dari 25 perusahaan yang menggunakan lisensi Boboiboy untuk berbagai produk. “Mereka terancam di-stop, termasuk televisi yang menayangkan serial Boboiboy,” tutur Nizam yang juga terlibat pembuatan serial animasi Upin dan Ipin.
Beruntung, perusahaan asal Malaysia itu tak senasib seperti Pierre Cardin. Gugatan yang dilayangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 3 Agustus lalu oleh Sadabana Entertainmen, akhirnya digugurkan oleh Majelis Hakim, alias dimenangkan oleh pihak DNA Production.
“Ini pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama industri kreatif. Saya berharap hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kepastian hukum itu penting. Jangan sampai pihak yang sebenarnya pemilik merek yang dengan susah payah mengembangkan usahanya justru dikalahkan oleh orang yang sebenarnya bukan pemilik hak. Mereka hanya memanfaatkan peluang untuk mendaftarkan merek lebih dulu, sebelum pemilik sah masuk ke Indonesia,” lanjut Nizam.
Kendati keputusan pengadilan berpihak pada DNA dan Animonsta, menurut Rina, persoalanya belum berhenti. “Kini, giliran kami yang akan menuntut balik. Kami sedang mempersiapkan gugatannya. Sebab, kami merasa justru telah dirugikan dengan pembajakan yang mereka lakukan selama ini. Banyak pembajakan karakter Boboiboy yang dilakukan oleh usaha kecil dalam berbagai produk, seperti kaus, sepatu, boneka, makanan, dan minuman. Itu dapat kami maafkan. Tapi, untuk perusahaan besar, tolong hargai kami,” tegas Rina yang akan menuntut ganti rugi Rp 50 miliar kepada Sadabana Entertainmen.