SAAT RASA MENJADI IDENTITAS BANGSA

Di tengah arus globalisasi rasa, Indonesia menyimpan potensi besar untuk meracik identitas kuliner berbasis wilayah—sebuah strategi budaya dan ekonomi yang berakar dari tanah dan tradisi.

.

.

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Amy B. Trubek dan Sarah Bowen (2008), "Creating the Taste of Place in the United States: Can We Learn from the French?", yang mengkaji sistem Appellation d'Origine Contrôlée (AOC) di Prancis dan potensinya untuk diadaptasi di Amerika Serikat.

Artikel ini berupaya mengajukan pertanyaan serupa untuk konteks Indonesia: dapatkah kita menciptakan cita rasa tempat melalui sistem perlindungan produk berbasis wilayah, dan menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi, sosial, sekaligus budaya?

Indonesia memiliki kekayaan agroekologi dan tradisi kuliner yang luar biasa, namun hingga kini masih minim perlindungan berbasis wilayah untuk produk pangan lokal. Produk-produk seperti kopi Toraja, garam Amed, tempe Malang, atau pala Banda sejatinya memuat karakter khas dari lingkungan tumbuh, pengetahuan lokal, dan praktik sosial turun-temurun.

Namun di tengah sistem pangan global yang semakin homogen, identitas tempat pada produk-produk tersebut terancam redup (Trubek & Bowen, 2008).

Konsep terroir, yang menjadi landasan sistem AOC di Prancis, adalah kombinasi antara faktor alam dan budaya yang membentuk karakter unik suatu produk (Barham, 2003). Di Prancis, hal ini bukan sekadar label geografis, melainkan sistem terstruktur yang mengikat produsen dalam kolektivitas, dengan pengawasan negara dan partisipasi multi-disiplin.

Proses sertifikasi dilakukan tidak hanya untuk melindungi produk dari peniruan, tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan lingkungan, keadilan ekonomi lokal, dan pelestarian praktik tradisional (INAO, 2007).

Jika konsep ini diterapkan di Indonesia, maka perlindungan semacam Geographical Indication (GI) yang telah dikenal dalam hukum, perlu dilengkapi dengan elemen collective governance dan pembuktian sensorik terhadap karakter unik rasa (Gerz & Dupont, 2006).

Misalnya, kopi Gayo yang telah memperoleh sertifikat IG, belum sepenuhnya melibatkan sistem kolektif produsen seperti koperasi yang kuat serta mekanisme penilaian rasa yang konsisten.

Studi kasus dari keju Comté di Prancis memperlihatkan bagaimana kekuatan organisasi produsen lokal, keterlibatan komunitas ilmiah, dan perhatian terhadap mikroklimat serta vegetasi lokal menciptakan produk yang tak hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya (Colinet et al., 2006). Bayangkan jika pendekatan serupa dilakukan pada produk seperti keju susu kerbau dari Sumbawa, atau madu hutan dari Kalimantan.

Tantangannya tentu besar. Seperti juga yang ditunjukkan oleh Trubek dan Bowen (2008), implementasi model seperti AOC membutuhkan dukungan negara, literasi konsumen, serta ekosistem hukum dan kelembagaan yang memadai.

Namun, inisiatif seperti peta rasa madu Nusantara, riset sensorik kopi Nusantara, atau jejak cita rasa beras lokal adalah sinyal awal bahwa arah ke sana telah dimulai.

Menciptakan cita rasa tempat bukan hanya soal membangun pasar niche. Ia adalah kerja kultural, politik, dan ekologis. Di tengah krisis identitas pangan global, sistem seperti ini bisa menjadi bentuk perlawanan yang halus namun kuat: memperlihatkan bahwa rasa pun punya akar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)