Sementara itu, dari sisi pendanaan, kinerja CIMB Niaga Syariah per 30 Juni 2022 mencapai Rp 36,9 triliun. Sepanjang enam tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan pendanaan mencapai 31,4%. Dengan kinerja pembiayaan dan pendanaan yang solid, per 30 Juni 2022, CIMB Niaga Syariah membukukan laba sebesar Rp 648 miliar dan aset Rp 58,9 triliun. “Secara rata-rata dalam enam tahun terakhir pertumbuhan laba dan aset masing-masing sebesar 42,9% dan 35,9%,” imbuhnya.
Keberhasilan CIMB Niaga Syariah menjaga kinerja secara berkelanjutan, diakui Pandji, merupakan buah dari penerapan strategi yang tepat. Strategi tersebut adalah dual banking leverage model (DBLM) yang memungkinkan CIMB Niaga Syariah untuk mengoptimalkan sumber daya dan kelengkapan infrastruktur yang dimiliki Bank Induk (CIMB Niaga) untuk menghadirkan produk dan layanan perbankan Syariah yang berkualitas.
“Dengan model operasional yang memanfaatkan platform sharing dari Bank Induk seperti jaringan kantor cabang, infrastruktur IT dan digital, hingga sumber daya manusia, maka kegiatan bisnis dan operasional di UUS menjadi lebih efisien, sehingga pertumbuhan bisnis menjadi lebih cepat. Di samping itu, dukungan penuh dari Bank Induk dengan mengutamakan penawaran produk-produk Syariah kepada nasabah (Syariah First) dibanding konvensional, juga menjadi pendorong pertumbuhan kami secara berkelanjutan,” urai Pandji.
Lebih jauh Pandji menegaskan, potret pertumbuhan CIMB Niaga Syariah tersebut juga terefleksi dalam kinerja secara industri. Secara umum, pertumbuhan perbankan Syariah yang menggunakan model bisnis UUS lebih cepat dan tentunya turut mendorong pertumbuhan perbankan Syariah lebih pesat. Dalam enam tahun terakhir, pertumbuhan perbankan Syariah tanpa UUS hanya akan mencapai 13% (CAGR), namun dengan kontribusi UUS pertumbuhan rata-rata dipercepat menjadi 15%.
Dari sisi literasi dan inklusi, UUS juga terbukti dapat menambah jumlah nasabah Syariah secara signifikan. Sebab, UUS bisa memperluas inklusi keuangan Syariah, sehingga menjangkau semua lapisan masyarakat, termasuk dari kalangan rasionalis dan non-muslim tanpa mengurangi kesetiaan dari para nasabah loyalis. Terlebih jika perbankan tersebut menerapkan konsep Syariah First dalam penawaran produk-produknya kepada nasabah, maka akselerasi literasi dan inklusi perbankan Syariah akan lebih cepat.
“Kepatuhan kepada prinsip-prinsip syariah (sharia compliance) juga menjadi hal fundamental yang selama ini ditegakkan oleh UUS. Kami memiliki sharia framework lengkap yang diterapkan secara konsisten dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah. Seluruh produk perbankan syariah yang ditawarkan kepada masyarakat juga telah mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh ijin dari OJK. Bagi kami, kepatuhan pada Syariah adalah komitmen tertinggi dan bukan hal yang dapat ditawar,” yakin Pandji.
Mempertimbangkan berbagai aspek keunggulan UUS, Pandji menyatakan pandangannya agar model bisnis UUS dapat dipertahankan. Karena model bisnis UUS dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam langkah strategis pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan sebelumnya, bahwa insan perbankan syariah di Indonesia dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) mendukung Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang menghapuskan kewajiban pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Induk di tahun 2023.
“Jika kewajiban spin-off diterapkan pada 2023, maka akan lahir sekitar 21 Bank Umum Syariah (BUS) baru dengan modal cekak dan kemampuan terbatas. Akibatnya, alih-alih akan mempercepat pertumbuhan market share sebaliknya membuat perbankan syariah tidak kompetitif. Hal ini tentu bertentangan dengan arahan konsolidasi perbankan dari OJK yang mendorong penguatan modal untuk menghadapi krisis finansial di masa mendatang serta menghadapi skala bisnis lebih besar,” pungkas Pandji.
(BACA artikel tentang “EDUKASI ALA CIMB NIAGA SYARIAH, di Majalah MIX MarComm, edisi Agustus 2022)