PRASANGKA MEREK

Membangun ekonomi berarti membangun kepercayaan. Di tengah dunia penuh ilusi, hanya prasangka positif berbasis kinerja nyata yang mampu membentuk loyalitas dan memenangkan persaingan.

.

.

Prasangka sering kali dipandang sebagai beban. Rasa curiga terhadap hal-hal baru menjadi refleks yang hampir otomatis. Orang diajarkan untuk curiga, untuk bertanya-tanya apakah sesuatu layak dipercaya.

Namun di dalam ekonomi pasar, justru prasangka—bila diarahkan secara positif—menjadi pondasi kepercayaan dan loyalitas.

Sosiologi merek mengajarkan bahwa tanpa prasangka positif, kita tak akan berani mengambil keputusan. Merek-merek besar tidak hanya menjual produk, tetapi mereka menjual kepercayaan yang bertumbuh perlahan dari konsistensi dan pengalaman nyata (Errichiello & Zschiesche, 2022). Sebuah botol air mineral, sepasang sepatu, bahkan layanan digital sederhana, menjadi simbol pilihan, keyakinan, dan identitas.

Max Horkheimer, seorang pemikir besar, menegaskan, "Tanpa mesin prasangka, seseorang tidak dapat menyeberang jalan, apalagi melayani pelanggan" (Horkheimer dalam Esch, 2020). Dalam dunia merek, prasangka positif adalah kompas kecil dalam lautan pilihan tak berujung. Ia memandu kita, membuat dunia yang kompleks menjadi sedikit lebih sederhana.

Namun di balik gambaran ideal ini, terdapat realitas yang harus diungkap dengan jujur. Tidak semua prasangka positif dibangun di atas landasan yang tulus. Dalam praktik, prasangka sering direkayasa oleh kekuatan pemasaran, mengaburkan batas antara kepercayaan sejati dan manipulasi.

Kasus Volkswagen adalah contoh nyata. Dengan citra "mobil ramah lingkungan", mereka memenangkan simpati konsumen hingga skandal manipulasi emisi diesel tahun 2015 mengungkap wajah asli di balik kampanye hijau mereka (Errichiello & Zschiesche, 2022). Ini membuktikan bahwa prasangka positif juga bisa menjadi alat manipulatif, mengelabui publik dengan narasi yang dibangun, bukan performa nyata.

Contoh lain datang dari Dove, merek yang mengusung kampanye "Real Beauty" yang membela keberagaman kecantikan. Namun di bawah payung yang sama, perusahaan induknya, Unilever, juga memasarkan produk pemutih kulit Fair & Lovely yang memperkuat stereotip kecantikan diskriminatif (Frohne, 2020). Ketidakselarasan ini mempertanyakan keaslian "prasangka positif" yang dibangun.

Melalui contoh-contoh ini, jelas bahwa dalam dunia bisnis modern, melawan prasangka tidak cukup hanya membangun citra yang menggoda. Ia harus melibatkan transparansi radikal, konsistensi nilai, dan keberanian untuk menghadapi kritik. Ekonomi yang benar-benar melawan prasangka adalah ekonomi yang mengutamakan kinerja nyata, bukan sekadar narasi emosional.

Dengan demikian, "Ekonomi Berarti Melawan Prasangka" adalah perjalanan terus-menerus: memperjuangkan ruang kepercayaan yang tulus di tengah gempuran ilusi, membangun prasangka positif berdasarkan tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata indah. Ini adalah panggilan untuk para merek, pengusaha, dan konsumen untuk memilih jalannya: apakah membangun dunia atas dasar kejujuran, atau larut dalam pusaran citra kosong.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)