Merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi kanker dan tumor di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk di tahun 2018. Bahkan, WHO memprediksi jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030 mendatang.
Berangkat dari fakta itu, Doktor di bidang Biomedik lulusan Universitas Indonesia sekaligus Ketua dan Pendiri Yayasan Hayandra Peduli Dr. dr. Karina, SpBP-RE menghadirkan Klinik Hayandra dan HayandraLab. Berbeda dengan klinik lainnya, Hayandra menawarkan pengobatan kanker melalui terapi sel.
"Terapi sel ini sudah resmi diizinkan pemerintah. Dan, HayandraLab sudah memiliki lisensi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2019 lalu. Bahkan, terapi sel di Hayandra juga bekerja sama dengan RSCM," ungkapnya pada hari ini (5/3), di sela-sela Diskusi Kesehatan, di Jakarta.
Lebih lanjut ia menjelaskan, teknologi pendukung terapi kanker yang ditawarkan Hayandra adalah teknologi Immune Cell Therapy (ICT) yang kini bisa diperoleh di Klinik Hayandra dan HayandraLab. Teknologi ini dibawa langsung oleh Dr. Karina dari negeri sakura Jepang.
“Berawal dari pengobatan kanker yang diidap ibu saya di Jepang pada tahun 2016, saya bernazar untuk membawa teknologi terapi sel, Immune Cell Therapy atau ICT, dari Jepang ke Indonesia. Saya ingin menghasirkan terapi ini dengan harga yang lebih murah," cerita Dr. Karina.
Akhirnya, ia mampu membawa teknologi itu ke Indonesia. Harga yang ditawarkan pun lebih murah dibandingkan dengan di Jepang. "Hayandra menetapkan Rp 300 juta sampai Rp 500 juta untuk seluruh siklus terapi. Sementara di jepang, harganya bisa mencapai empat kali lipat. Dengan harga itu, pasien bisa mendapatkan 6 sampai 10 kali terapi yang memakan waktu 2 hingga 4 bulan," ucapnya.
Tak hanya harga, perbedaan terapi sel Hayandra dibandingkan di Jepang adalah adanya layanan pendampingan psikologis bagi para penderita kanker. Dengan demikian, mereka mendapatkan pengobatan yang komprehensif. Sebab, menurutnya, yang dibutuhkan penderita kanker bukan hanya pengobatan fisik, tetapi juga penguatan psikologis.
Ditambahkan Cecilia Sagita, M. Psi., Psikolog yang juga anggota tim psikolog di Klinik Hayandra, dalam proses menjalani perawatan medis untuk kanker, pasien maupun keluarganya memerlukan pendampingan psikolog yang intensif. “Banyak pasien merasa divonis mengenai akhir hidupnya, saat didiagnosis mengidap kanker,” ungkap Cecilia.
Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi dasar untuk melihat manusia secara utuh (holistik) dalam proses membantu penyintas kanker untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, diperlukan konseling dan psikoterapi sebagai langkah intervensi bagi pasien kanker untuk memberikan ketenangan dan membantunya menjalani perawatan medis dengan semangat positif.
Keluarga juga mengambil peran penting untuk memberi dukungan dan perawatan pada pasien kanker. Kendati demikian, menurut Cecilia, sifat keluarga yang protektif justru dapat membuat tekanan pada kondisi pasien. Kerap kali keluarga justru bertindak sebagai ‘pengawas’ yang membatasi keinginan dan perilaku pasien yang dapat menjadi pemicu konflik antara pasien dan keluarganya.
“Psikolog dapat memberikan psikoedukasi dan konseling kepada anggota keluarga sehingga tercipta suasana kondusif dan nyaman untuk pasien yang berdampak positif pada kondisi medisnya,” tutup Cecilia.