Humanize Brand

Ada kekuatan baru dalam membangun keunggulan bersaing di era pandemik seperti sekarang ini, yakni membangun merek yang memiliki kepedulian pada kemanusiaan (humanized brand).

Humanized brand adalah merek yang telah menciptakan kepribadian dan identitas yang dapat dihubungkan dan menarik bagi audiens targetnya. Pada intinhya, gagasan memanusiakan merek adalah tentang menciptakan hubungan emosional antara perusahaan dan pelanggannya. Koneksi ini dicapai dengan menghadirkan merek dengan cara yang terasa lebih personal, empatik, dan autentik.

Merek yang dimanusiakan seringkali memiliki misi dan nilai yang jelas yang dikomunikasikan secara konsisten di semua saluran pemasarannya. Mungkin juga menggunakan cerita untuk melibatkan pelanggan dan menciptakan hubungan emosional dengan mereka.

Dengan menunjukkan bahwa ada orang-orang nyata di balik merek dan dengan berbicara kepada pelanggan dengan cara yang dapat diterima dan menarik, merek yang dimanusiakan dapat membangun kepercayaan dan loyalitas dengan audiensnya.

Beberapa contoh merek manusiawi termasuk Airbnb, yang menekankan hubungan pribadi yang dapat dilakukan melalui platformnya, dan Patagonia, yang memiliki fokus kuat pada tanggung jawab lingkungan dan sosial. Kedua merek ini berhasil menciptakan rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap produk mereka, yang membantu mereka membangun basis pelanggan setia.

Ini sekaligus meredefinisi konsep corporate social responsibility yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh banyak perusahaan. Dalam konteks branding, humanized brand bisa diterjemahkan sebagai upaya pengelola merek untuk menjadi brand memiliki citra peduli pada kemanusiaan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, brand memiliki kepedulian manakala aktivasinya menunjukkan kepeduliannya pada nasib stakeholder.

Baru-baru ini, Edelman merilis hasil risetnya yang berjudul Edelman Trust Barometer 2020. Hasil riset itu menunjukkan 90% pelanggan dari seluruh dunia percaya bahwa merek harus melakukan apa saja untuk melindungi kesejahteraan dan keamanan finansial karyawan dan pemasok mereka. Perlindungan itu harus dilakukan seklipun perusahaan mengalami kerugian finansial yang besar sampai pandemi berakhir.

Jika tidak, maka 71% konsumen global mengatakan bahwa merek akan kehilangan kepercayaan dari pelanggan selamanya. Ini akan berdampak besar pada kemungkinan mereka untuk membeli dari merek itu lagi di masa depan.

Kedua, bisa dilihat dari bagaimana mereka menyediakan layanan yang embedded dengan produknya. Misalnya aplikasi yang bisa menutup kekurangan dari teknologi yang banyak digunakan oleh perusahaan dalam melayani konsumennya.  

Penelitian yang dilakukan PwC sebelum pandemic menunjukkan bahwa 59 persen konsumen global yang disurvei merasa perusahaan telah kehilangan sisi “ kemanusiaannya” ketika kontak dengan pelanggan.

In karena makin meluasnya penggunaan mesin otomatis seperti yang sering dijumpai pada layanan bebas tol misalnya. Ternayata pelanggan tidak terlalu happy dengan model layanan seperti itu. Lebih 75 persen pelanggan yang disurvei lebih suka berinteraksi dengan manusia ketimbang mesin otomatis.

Saat pandemic, orang berjuang untuk menavigasi diantara banyak titik gesekan dari "normal baru" dan membutuhkan sentuhan manusia yang lebih besar dibandingkan the old normal. Misalnya, bila dalam old normal toko atau pengelola merek – untuk mendorong orang melakukan pembelian – pengelola merek atau toko menyedakan barang –barang tersebut untuk dicoba (sampling misalnya). Sebelum membeli orang melihat dan membandingkan dengan alternatif lainnya.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)